HARAPAN rakyat akan ‘naiknya kelas’ anggota DPR-RI hasil Pemilu 2009
dibanding Pemilu 2004, pupus sudah. Sejak masa sidang 2009-2010 hingga
2010-2011, anggota DPR masih hobi melancong ke luar negeri dengan dalih studi
banding.
Kalau kritik keras didengungkan, mereka tidak mendengarnya. Perginya anggota Badan Kehormatan (BK) ke Yunani belajar etika (23-30/10) adalah di antara bentuk kritikan yang tidak didengar.
Kalau kritik keras didengungkan, mereka tidak mendengarnya. Perginya anggota Badan Kehormatan (BK) ke Yunani belajar etika (23-30/10) adalah di antara bentuk kritikan yang tidak didengar.
Sebelumnya, Panitia Kerja
Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Kepramukaan Komisi X ke Afrika Selatan,
Korea Selatan dan Jepang (13-14/9). Panja RUU Holtikultura Komisi IV ke Belanda
dan Norwegia (14-19/9), Panja RUU Keimigrasian Komisi III ke Inggris dan
Perancis, Panja RUU Mata Uang Komisi XI ke Kanada dan Swiss dan negara lainnya.
Sungguh pun kekecewaan itu
memuncak, kita coba mengambil hikmah dengan mempertimbangkan beberapa
kemungkinan. Pertama, anggota DPR beroleh pelajaran berharga dari luar negeri
tapi rumusan kebijakannya sulit diimplementasi di Indonesia yang memiliki kultur
berbeda.
Kedua, pelajaran yang didapat
bisa dirumuskan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasi, tetapi berisiko
tidak didukung konstituen karena konteks dan kontensnya tidak sesuai.
Ketiga, pelajaran yang didapat
bisa dirumuskan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasi tetapi mencerabut
pelajaran (kearifan) lokal masyarakat Indonesia. Hasil studi banding akan
memaksa masyarakat melaksanakannya dengan mengabaikan kearifan lokal yang
dimiliki.
Ironis kalau kebijakan politik
tidak berakar sesuai kultur dan iklim Indonesia. Studi banding ke Belanda dan
Norwegia tentang holtikultura, sungguh tidak relevan dengan iklim Indonesia yang
tropis. Juga mengenai etika anggota legislatif yang dibawa dari Yunani yang
berakar Barat, sungguh tidak sesuai dengan etika politik bangsa Indonesia yang
berakar Timur.
Kalau anggota DPR berkomitmen
terhadap Indonesia yang besar, mestinya tidak perlu jauh-jauh belajar etika,
pertanian, kepramukaan, perumahan dan lainnya. Indonesia kaya dengan nilai yang
menjadi kearifan lokal masyarakatnya. Elite politik terlalu pongah dengan tidak
menghargai nilai itu, sehingga kebijakan politik yang dibuat mengalami
disorientasi.
Studi kebijakan memperkenalkan
beberapa tahap perumusan masalah kebijakan, sehingga dapat dilegitimasi menjadi
kebijakan berkekuatan hukum (UU).
Penemuan masalah. Menemukan
situasi dan kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan, sehingga tersaji deretan
masalah yang belum tertata (meta masalah), meta masalah digali dari objek yang
memiliki masalah.
Pendefinisian masalah.
Mendefinisikan secara umum dan mendasar mengenai berbagai temuan masalah.
Temukan spesifikasi, seperti masalah ekonomi, politik, budaya yang berkaitan
dengan masalah yang terjadi. Kenali substansi masalah yang terjadi secara
spesifik dan jelas, sehingga dapat ditentukan secara formal siapa dan pada
level mana yang berwenang melakukan intervensi.
Terakhir melakukan formulasi
masalah menuju legitimasi. Formulasi didasarkan pada penemuan, pendefinisian,
spesifikasi, dan substansi masalah yang sudah ditempuh.
Dua kemungkinan legitimasi kebijakan hasil formulasi itu, yakni kebijakan berakar pada masalah dan objek di mana masalah muncul. Kalau formula kebijakan mulai digali dari objek masalah, maka hasilnya adalah legitimasi kebijakan yang berakar pada objek di mana masalah muncul.
Dua kemungkinan legitimasi kebijakan hasil formulasi itu, yakni kebijakan berakar pada masalah dan objek di mana masalah muncul. Kalau formula kebijakan mulai digali dari objek masalah, maka hasilnya adalah legitimasi kebijakan yang berakar pada objek di mana masalah muncul.
Kalau objek masalah di Indonesia
mestinya formula kebijakan bersumber dari masyarakat Indonesia, sehingga
implementasi kebijakannya dapat menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia.
Sebab itu, studi (banding) dan penelitian untuk membuat formula kebijakan mesti
digali di Indonesia.
Kedua, kebijakan tidak berakar
pada masalah dan objek di mana masalah muncul. Formula kebijakan semacam itu
lazim dihasilkan atas dasar penemuan masalah, pendefinisian, spesifikasi dan
substansi yang ada di tempat lain. Itulah kebijakan yang kebanyakan dihasilkan
oleh studi banding ke luar negeri.
Tentang etika anggota dewan,
misalnya, formula masalahnya tidak dapat dilegitimasi dan diimplementasi dengan
baik, karena masalahnya tidak ditemukan dalam diri anggota dewan di Indonesia,
melainkan atas diri anggota dewan di Yunani. Jelas itu berkaitan dengan mental,
spiritual, kultural dan struktural di dua negara yang berbeda.
Masyarakat Indonesia dari daratan Sumatera sampai Papua memiliki ribuan nilai yang dapat ditarik pelajaran berharga menjadi dasar pengambilan kebijakan publik oleh DPR. Masyarakat Minang di Sumatera memiliki kearifan dalam mengelola konflik dan etika politik.
Masyarakat Indonesia dari daratan Sumatera sampai Papua memiliki ribuan nilai yang dapat ditarik pelajaran berharga menjadi dasar pengambilan kebijakan publik oleh DPR. Masyarakat Minang di Sumatera memiliki kearifan dalam mengelola konflik dan etika politik.
Masyarakat Dayak dan Banjar di
Kalimantan memiliki kearifan dalam mengadaptasi perumahannya dengan alam,
sehingga perumahan mereka tidak mengganggu ekosistem lingkungan serta dapat
berdaptasi dengan perubahan iklim.
Semua komunitas masyarakat di Indonesia memiliki kearifan dalam mengelola pertanian. Masyarakat Papua memiliki kearifan lokal mengelola hidup di alam yang keras, sehingga pantas menjadi pelajaran berharga sebagai dasar pendidikan kepanduan anggota Pramuka.
Semua komunitas masyarakat di Indonesia memiliki kearifan dalam mengelola pertanian. Masyarakat Papua memiliki kearifan lokal mengelola hidup di alam yang keras, sehingga pantas menjadi pelajaran berharga sebagai dasar pendidikan kepanduan anggota Pramuka.
Banyak potensi nilai lokal
Indonesia lainnya yang dapat digali sebagai bahan memformulasikan kebijakan.
DPR mesti melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi di tiap provinsi untuk
melakukan penelitian terhadap potensi nilai lokal itu.
Dana melancong ke luar negeri lebih baik digunakan untuk membiayai penelitian tersebut yang jumlahnya tidak sebesar biaya melancong. Selain memberdayakan perguruan tinggi, upaya tersebut dalam rangka membuat kebijakan politik berakar dan akrab dengan masyarakat
Dana melancong ke luar negeri lebih baik digunakan untuk membiayai penelitian tersebut yang jumlahnya tidak sebesar biaya melancong. Selain memberdayakan perguruan tinggi, upaya tersebut dalam rangka membuat kebijakan politik berakar dan akrab dengan masyarakat
Posting Komentar