Headlines News :
Home » » Kebijakan (Tidak) Berakar Indonesia

Kebijakan (Tidak) Berakar Indonesia

Written By Unknown on Jumat, 13 Juli 2012 | 15.24




HARAPAN rakyat akan ‘naiknya kelas’ anggota DPR-RI hasil Pemilu 2009 dibanding Pemilu 2004, pupus sudah. Sejak masa sidang 2009-2010 hingga 2010-2011, anggota DPR masih hobi melancong ke luar negeri dengan dalih studi banding.

Kalau kritik keras didengungkan, mereka tidak mendengarnya. Perginya anggota Badan Kehormatan (BK) ke Yunani belajar etika (23-30/10) adalah di antara bentuk kritikan yang tidak didengar.
Sebelumnya, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Kepramukaan Komisi X ke Afrika Selatan, Korea Selatan dan Jepang (13-14/9). Panja RUU Holtikultura Komisi IV ke Belanda dan Norwegia (14-19/9), Panja RUU Keimigrasian Komisi III ke Inggris dan Perancis, Panja RUU Mata Uang Komisi XI ke Kanada dan Swiss dan negara lainnya.
Sungguh pun kekecewaan itu memuncak, kita coba mengambil hikmah dengan mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Pertama, anggota DPR beroleh pelajaran berharga dari luar negeri tapi rumusan kebijakannya sulit diimplementasi di Indonesia yang memiliki kultur berbeda.
Kedua, pelajaran yang didapat bisa dirumuskan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasi, tetapi berisiko tidak didukung konstituen karena konteks dan kontensnya tidak sesuai.
Ketiga, pelajaran yang didapat bisa dirumuskan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasi tetapi mencerabut pelajaran (kearifan) lokal masyarakat Indonesia. Hasil studi banding akan memaksa masyarakat melaksanakannya dengan mengabaikan kearifan lokal yang dimiliki. 
Ironis kalau kebijakan politik tidak berakar sesuai kultur dan iklim Indonesia. Studi banding ke Belanda dan Norwegia tentang holtikultura, sungguh tidak relevan dengan iklim Indonesia yang tropis. Juga mengenai etika anggota legislatif yang dibawa dari Yunani yang berakar Barat, sungguh tidak sesuai dengan etika politik bangsa Indonesia yang berakar Timur.
Kalau anggota DPR berkomitmen terhadap Indonesia yang besar, mestinya tidak perlu jauh-jauh belajar etika, pertanian, kepramukaan, perumahan dan lainnya. Indonesia kaya dengan nilai yang menjadi kearifan lokal masyarakatnya. Elite politik terlalu pongah dengan tidak menghargai nilai itu, sehingga kebijakan politik yang dibuat mengalami disorientasi.
Studi kebijakan memperkenalkan beberapa tahap perumusan masalah kebijakan, sehingga dapat dilegitimasi menjadi kebijakan berkekuatan hukum (UU).
Penemuan masalah. Menemukan situasi dan kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan, sehingga tersaji deretan masalah yang belum tertata (meta masalah), meta masalah digali dari objek yang memiliki masalah.
Pendefinisian masalah. Mendefinisikan secara umum dan mendasar mengenai berbagai temuan masalah. Temukan spesifikasi, seperti masalah ekonomi, politik, budaya yang berkaitan dengan masalah yang terjadi. Kenali substansi masalah yang terjadi secara spesifik dan jelas, sehingga dapat ditentukan secara formal siapa dan pada level mana yang berwenang melakukan intervensi.
Terakhir melakukan formulasi masalah menuju legitimasi. Formulasi didasarkan pada penemuan, pendefinisian, spesifikasi, dan substansi masalah yang sudah ditempuh.

Dua kemungkinan legitimasi kebijakan hasil formulasi itu, yakni kebijakan berakar pada masalah dan objek di mana masalah muncul. Kalau formula kebijakan mulai digali dari objek masalah, maka hasilnya adalah legitimasi kebijakan yang berakar pada objek di mana masalah muncul.
Kalau objek masalah di Indonesia mestinya formula kebijakan bersumber dari masyarakat Indonesia, sehingga implementasi kebijakannya dapat menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia. Sebab itu, studi (banding) dan penelitian untuk membuat formula kebijakan mesti digali di Indonesia.
Kedua, kebijakan tidak berakar pada masalah dan objek di mana masalah muncul. Formula kebijakan semacam itu lazim dihasilkan atas dasar penemuan masalah, pendefinisian, spesifikasi dan substansi yang ada di tempat lain. Itulah kebijakan yang kebanyakan dihasilkan oleh studi banding ke luar negeri.
Tentang etika anggota dewan, misalnya, formula masalahnya tidak dapat dilegitimasi dan diimplementasi dengan baik, karena masalahnya tidak ditemukan dalam diri anggota dewan di Indonesia, melainkan atas diri anggota dewan di Yunani. Jelas itu berkaitan dengan mental, spiritual, kultural dan struktural di dua negara yang berbeda.  

Masyarakat Indonesia dari daratan Sumatera sampai Papua memiliki ribuan nilai yang dapat ditarik pelajaran berharga menjadi dasar pengambilan kebijakan publik oleh DPR. Masyarakat Minang di Sumatera memiliki kearifan dalam mengelola konflik dan etika politik.
Masyarakat Dayak dan Banjar di Kalimantan memiliki kearifan dalam mengadaptasi perumahannya dengan alam, sehingga perumahan mereka tidak mengganggu ekosistem lingkungan serta dapat berdaptasi dengan perubahan iklim.

Semua komunitas masyarakat di Indonesia memiliki kearifan dalam mengelola pertanian. Masyarakat Papua memiliki kearifan lokal mengelola hidup di alam yang keras, sehingga pantas menjadi pelajaran berharga sebagai dasar pendidikan kepanduan anggota Pramuka.
Banyak potensi nilai lokal Indonesia lainnya yang dapat digali sebagai bahan memformulasikan kebijakan. DPR mesti melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi di tiap provinsi untuk melakukan penelitian terhadap potensi nilai lokal itu.

Dana melancong ke luar negeri lebih baik digunakan untuk membiayai penelitian tersebut yang jumlahnya tidak sebesar biaya melancong. Selain memberdayakan perguruan tinggi, upaya tersebut dalam rangka membuat kebijakan politik berakar dan akrab dengan masyarakat

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : twitter@wajoterkini | facebook WAJOTERKINI.com | PinBB: 2A9F133B | Google@wajoterkini
Copyright © 2011. Kawali News - All Rights Reserved
Template Created by Published by Bakri Grafika
Proudly powered by wajoterkini