Proses pengharmonisasian
dilakukan terhadap rancangan peraturan-perundang-undangan, bukan terhadap
peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah berlaku, proses yang dilakukan adalah pengujian
yang dilakukan oleh lembaga yudisial melalui proses judicial review dan
juga dapat dilakukan pengkajian (non-judicial review). Hasil
pengkajian tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh pemrakarsa untuk
menentukan sikap atas peraturan-perundang-undangan yang dikaji tersebut.
Terdapat 2 (dua) lembaga yang berwenang (leading sector) dalam
kaitannya dengan proses harmonisasi pembentukan undang-undang. Pertama,
yaitu Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) yang melakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi terhadap rancangan undang-undang yang
diajukan oleh Pemerintah. Kedua, adalah Badan Legislasi
(Baleg) yang merupakan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
mempunyai tugas untuk pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, Komisi, dan Gabungan
Komisi. Untuk lebih jelas, penulis akan menguraikan lembaga yang berwenang
melakukan harmonisasi dalam pembentukan undang-undang sebagai berikut:
Pemerintah
Pasal
18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Undang-Undang disebutkan bahwa “Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari
Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan”. Adapun yang dimaksud Menteri di
dalam pasal tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal
18 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 jelas sekali mengatur mengenai
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
yang berasal dari Presiden (eksekutif). Sebaliknya Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 belum menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Dengan kata lain, dalam materi
Undang-Undang tersebut belum mengatur secara jelas mengenai pengharmonisasi
rancangan undang-undang yang berasal dari DPR. Berkaitan dengan hal
tersebut, penulis akan mempergunakan peraturan perundang-undangan terkait
dengan materi yang akan diteliti.
Adapun
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Nasional; Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerinrah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan
Presiden. Di lain pihak, untuk DPR akan didasarkan pada Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 08/DPR RI/I/2005.2006 tentang
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ayat (1) menyatakan bahwa “rancangan undang-undang yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
non-departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya”. Selanjutnya
pada ayat (2), pengharmonisasian rancangan undang-undang lebih tegas lagi
diatur, sebagai berikut: “pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan
oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan”.
Pengharmonisasian
RUU dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan. Pengharmonisasian tersebut dilakukan atas
permintaan tertulis dari Menteri atau Pimpinan LPND yang memprakarsai
penyusunan rancangan undang-undang yang bersangkutan atau atas permintaan
Sekretariat Kabinet. Berdasarkan permintaan tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan mengundang wakil-wakil dari instansi terkait untuk melakukan
pengharmonisasian RUU dalam rangka pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang
dimaksud.
Wakil
dari Menteri atau Pimpinan LPND pemrakarsa diberikan kesempatan untuk memaparkan
pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang pembentukan Rancangan
Undang-Undang dan garis besar materi muatannya. Selanjutnya, wakil-wakil dari
instansi yang terkait diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan, pendapat
atau usul perubahan. Umumnya tanggapan, pendapat atau usul perubahan
disampaikan secara spontan pada saat rapat pengharmonisasian dan menyangkut
materi muatan rancangan undang-undang yang terkait dengan ruang lingkup tugas
instansi yang diwakili. Kemudian dilakukan pembahasan secara mendalam terhadap
tanggapan, pendapat atau usul perubahan yang diajukan dalam rapat.
Pengambilan keputusan dilakukan
apabila telah dicapai kesepakatan tentang materi muatan rancangan undang-undang
yang diharmonisasikan. Seringkali pembahasan berjalan alot karena adanya
tarik-menarik kepentingan antar instansi terkait, umumnya dalam soal-soal yang
menyangkut kewenangan, kelembagaan, pengelolaan keuangan, pengaturan prosedur,
penetapan hak dan kewajiban serta sanksi. Apabila suatu isu yang menjadi pokok
masalah tidak dapat dicarikan solusinya atau tidak dapat disepakati, maka
diberikan kesempatan untuk melakukan konsultasi dengan pimpinan instansinya
atau untuk meminta pendapat tertulis dari instansi yang dipandang lebih
berkompeten.
Pengharmonisasian rancangan
undang-undang tidak jarang memakan waktu yang cukup lama dan menguras tenaga
serta pikiran sampai tercapainya pembulatan konsepsi. Sesudah tercapai
kesepakatan atau kebulatan konsepsi dan dituangkan ke dalam rumusan akhir, maka
Menteri Hukum dan HAM atau Menteri/Pimpinan LPND pemrakarsa setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri Hukum dan HAM mengajukan rancangan undang-undang
tersebut kepada Presiden untuk mendapat persetujuan.
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara mempersiapkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Presiden”. Peraturan Presiden tersebut adalah
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerinrah Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Dengan demikian, Peraturan Presiden ini
merupakan penjabaran dari Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.
Dewan
Perwakilan Rakyat (Badan Legislasi)
Lembaga
berikutnya yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang adalah Dewan
Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai alat kelengkapan yaitu
Badan Legislasi yang berkedudukan sebagai pusat pembentukan undang-undang/hukum
nasional yang dibentuk oleh DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap. Hal ini berdasarkan ketentuan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Nomor : 08/DPR-RI/I/2005.2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terdapat pada Pasal 42 ayat (1) huruf
c tata tertib tersebut menyatakan bahwa: “Tugas Badan Legislasi sebagai
pusat pembentuk undang-undang adalah melakukan pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diajukan Anggota, Komisi,
atau Gabungan Komisi sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan
kepada Pimpinan Dewan”.
Badan
legislasi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang. Rancangan undang-undang yang
dimaksud adalah yang diajukan oleh anggota, komisi, atau gabungan komisi
sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan.
Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan sekurang-kurangnya oleh 13 (tiga
belas) orang anggota yang dapat mengajukan usul inisiatif Rancangan
Undang-Undang.
Usul
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dapat juga diajukan oleh Komisi,
Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi. Usul inisiatif Rancangan Undang-Undang
beserta penjelasan keterangan dan naskah akademis disampaikan secara tertulis
oleh anggota, Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, atau Pimpinan Badan
Legislasi kepada Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul
serta nama fraksinya. Hal ini setelah dilakukannya proses pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(1) huruf c Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
08/DPR-RI/I/2005.2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Dalam Rapat Paripurna berikutnya
setelah usul inisiatif Rancangan Undang-Undang tersebut diterima oleh Pimpinan
DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota tentang masuknya usul inisiatif
Rancangan Undang-Undang tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.
Rapat Paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat
diterima menjadi RUU usul dari DPR atau tidak. Keputusan diambil setelah
diberikan kesempatan kepada Fraksi untuk memberikan pendapatnya.
Dalam hal persetujuan dengan
perubahan, DPR menugaskan kepada Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi, atau
Panitia Khusus untuk menyempurnakan Rancangan Undang-Undang tersebut. Komisi,
Gabungan Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus dalam menyempurnakan
Rancangan Undang-Undang tidak memerlukan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
fraksi-fraksi. Dalam hal ini Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui tanpa
perubahan atau yang telah disampaikan kepada Presiden oleh Pimpinan DPR dengan
permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam
melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut bersama-sama dengan DPR,
dan kepada Pimpinan DPD jika Rancangan Undang-Undang yang diajukan mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Posting Komentar