Headlines News :
Home » » Harmonisasi Undang-Undang

Harmonisasi Undang-Undang

Written By Unknown on Jumat, 13 Juli 2012 | 15.22




Perkembangan harmonisasi hukum sesungguhnya telah ada dalam ilmu hukum dan praktik hukum di Belanda setelah Perang Dunia II dan lebih berkembang sejak tahun 1970-an. Bahkan di Jerman, pengembangan harmonisasi hukum telah ada sejak tahun 1902.Harmonisasi hukum yang berkembang dalam ilmu hukum di Belanda digunakan untuk menunjukan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan di antara keduanya terdapat perbedaan yang mengakibatkan disharmonis. Rudolf Stammler (1902) mengemukakan bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan individu dengan masyarakat.
Di Indonesia masalah harmonisasi hukum juga telah mulai digagas oleh Soepomo, ahli hukum adat Indonesia yang mempunyai peran besar dalam merumuskan Undang-Undang Dasar 1945. Soepomo mengemukakan bagaimana menghubungkan sistem hukum Indonesia dengan gagasan hukum yang berasal dari sitem hukum barat, sebagai berikut:
“… inti soal sekarang ialah, bagaimana mempersatukan tjita-tjita Timur dengan tjita-tjita dan kebutuhan modern yang berasal dari Barat supaja menjadi suatu harmoni. Djawaban satu-satunja jang efektif rupa-rupanja ialah: asimilasi pengertian-pengertian Barat dalam bentuk jang sesuai dengan strukturnja masjarakat Indonesia sendiri.”
Gagasan di atas menunjukan bahwa sistem hukum Indonesia memikirkan masalah harmonisasi dengan hukum modern melalui metode asimilasi pengertian konsep hukum barat yang sesuai dengan struktur masyarakat Indonesia sendiri. Pemikiran tentang keharmonisan hukum dengan pola asimilasi itu tersirat dalam ketentuan peralihan UUD 1945, tidak hanya bemakna bahwa hukum peninggalan Belanda hanya untuk sekedar mengisi kekosongan hukum yang terjadi kerena kemerdekaan Republik Indonesia.
Hal itu dapat diartikan juga untuk memberi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum kolonial dengan kebutuhan masyarakat secara bertahap, menurut prosedur dan tata cara pembentukan hukum nasional. Pengaturan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan setelah kemerdekaan sesungguhnya telah diatur di dalam Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah sebagai hatsil Panitya tersebut pada Pasal 2 Instruksi Presiden ini, sebelum diadjukan kepada Presiden, harus disampaikan/diedarkan terlebih dahulu kepada :
  1. Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah jang erat hubungannja dengan materi jang diatur dalam Rantjangan jang bersangkutan, untuk mendapat tanggapan dan pertimbangan.
  2. Menteri Kehakiman untuk memperoleh tanggapan seperlunja dari segi hukum.
  3. Sekretaris Kabinet untuk persiapan penjelesaian Rantjangan tersebut selandjutnja.
(2) Tanggapan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ajat (1) Pasal ini dalam waktu jang sesingkat-singkatnja harus disampaikan oleh para Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah kepada Departemen/Lembaga jang menjiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peratupan Pemerintah jang bersangkutan.
Meskipun tidak secara tegas dan jelas diatur dalam ketentuan Inpres No. 15 Tahun 1970, secara implisit harmonisasi dalam pembentukan undang-undang sudah dilakukan. Hal ini terlihat, di dalam ketentuan Pasal 3 Inpres 15 Tahun 1970, bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) maupun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebelum diajukan kepada Presiden harus disampaikan atau diedarkan kepada: (1) Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah yang erat hubungannya dengan materi yang diatur dalam Rancangan yang bersangkutan, untuk mendapat tanggapan dan pertimbangan; (2) Menteri Kehakiman untuk memperoleh tanggapan seperlunya dari segi hukum; (3) Sekretaris Kabinet untuk persiapan penyelesaian Rancangan tersebut selanjutnya.
Menurut Penulis, penyampaian RUU dan RPP tersebut penting untuk dilakukan, karena Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah yang berhubungan erat dengan materi yang akan diatur di dalam rancangan tersebut, harus terlebih dahulu mempelajari materi yang akan dibahas. Tanggapan dan pertimbangan harus secepat-cepatnya disampaikan kepada Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah yang menyiapkan RUU dan RPP tersebut.
Untuk mengolah tanggapan dan pertimbangan, Departemen dan Lembaga Pemerintah, baik yang menyiapkan RUU dan RPP maupun yang berhubungan erat dengan materi yang diatur di dalam rancangan tersebut, mengadakan pertemuan konsultasi dan koordinasi untuk membahas konsepsi dan materi yang terdapat di dalam RUU dan RPP. Menurut ketentuan Pasal 4 Inpres No. 15 Tahun 1970 bahwa:
”Untuk mengolah tanggapan dan pertimbangan jang diadjukan oleh masing-masing Departemen dan Lembaga Pemerintah tersebut ajat (2) Pasal 3 Instruksi Presiden ini, Departemen/Lembaga Pemerintah jang menjiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah tersebut dapat mengadakan pertemuan-pertemuan konsultasi, dan koordinasi dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah jang bersangkutan”.
Selanjutnya di dalam Pasal 5 Inpres No. 15 Tahun 1970, menyebutkan bahwa:
“Hatsil terachir sebagai kebulatan pendapat atas materi sesuatu Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah, disampaikan kepada Presiden disertai pendjelasan-pendjelasan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga jang bersangkutan, tentang pokok-pokok materi dari Rantjangan serta proses penggarapannja”.
Pertemuan berupa konsultasi dan koordinasi antara Departemen dan Lembaga Pemerintah yang menyiapkan RUU dan RPP dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah yang berhubungan erat dengan materi rancangan tersebut adalah sebagai upaya untuk mendapatkan hasil terakhir dalam hal kebulatan pendapat atas materi dari suatu RUU dan RPP.
Walaupun di dalam Inpres No. 15 Tahun 1970, pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tidak disebutkan secara tegas dan jelas. Penulis beranggapan bahwa di dalam materi Instruksi Presiden tersebut telah mengatur mengenai mekanisme pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Hal itu di dasarkan kepada bunyi Pasal 3, 4, dan Pasal 5 yaitu adanya suatu forum konsultasi dan koordinasi antara Departemen/Lembaga Pemerintah pemrakarsa RUU dengan Departemen/Lembaga Pemerintah yang berhubungan erat dengan materi RUU yang akan diatur, sebagai suatu mekanisme pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Hal ini kemudian diadaptasi oleh Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,  Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia sudah tidak berlaku lagi. Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 sebagai penyempurna dari Inpres No. 15 Tahun 2007 menghendaki perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan. Keppres No. 188 Tahun 1998 lahir sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan atau perubahan. Hal tersebut berkaitan dengan terjadinya perubahan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan.
Ketentuan yang mengatur mengenai harmonisasi dalam pembentukan undang-undang di dalam Keppres No. 188 Tahun 1998, diatur  dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa:
“Dalam rangka pengharmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Undang-undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan Menteri Kehakiman serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait.”
Proses harmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam RUU dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Menteri Kehakiman serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait dengan RUU tersebut.
Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 sudah secara tegas dan jelas dalam mengatur proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan dalam pembentukan undang-undang. Setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, maka dilakukanlah penyempurnaan terhadap Keppres No. 188 Tahun 1998. Hal ini dikarenakan adanya perubahan yang berkaitan dengan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pengharmonisasian RUU diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, dikatakan bahwa “Pengharmonisasian, pembulatan, dan penetapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. Kemudian hal itu diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pengharmonisasian peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan sebagaiman diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Terdapat 3 (tiga) alasan perlu dilakukan pengharmonisasian RUU sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, yaitu:
  1. Undang-undang sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang merupakan subsistem dari sistem hukum nasional. Peraturan perundang-undangan harus saling keterkaitan dan berhubungan serta suatu kesatuan yang utuh dengan subsistem lainnya;
  2. Undang-undang dapat diuji (judicial review) baik secara material maupun formal oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, berdasarkan hal tersebut maka pengarmonisasian peraturan perundang-undangan sangat penting dilakukan sebagai langkah pencegahan (preventif) untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MK;
  3. Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 merupakan pedoman sebagai cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.[5] Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dibuat dan diberlakukan untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya pedoman atau metode yang pasti dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, maka akan terjadi ketidakseragaman atau perbedaan-perbedaan bentuk antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : twitter@wajoterkini | facebook WAJOTERKINI.com | PinBB: 2A9F133B | Google@wajoterkini
Copyright © 2011. Kawali News - All Rights Reserved
Template Created by Published by Bakri Grafika
Proudly powered by wajoterkini