Perkembangan harmonisasi hukum
sesungguhnya telah ada dalam ilmu hukum dan praktik hukum di Belanda setelah
Perang Dunia II dan lebih berkembang sejak tahun 1970-an. Bahkan di Jerman, pengembangan harmonisasi hukum
telah ada sejak tahun 1902.Harmonisasi hukum yang
berkembang dalam ilmu hukum di Belanda digunakan untuk menunjukan bahwa dalam
dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan di antara keduanya terdapat
perbedaan yang mengakibatkan disharmonis. Rudolf Stammler (1902) mengemukakan
bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan
kepentingan antara individu dengan individu dan individu dengan masyarakat.
Di Indonesia masalah harmonisasi
hukum juga telah mulai digagas oleh Soepomo, ahli hukum adat
Indonesia yang mempunyai peran besar dalam merumuskan Undang-Undang Dasar 1945.
Soepomo mengemukakan bagaimana menghubungkan sistem hukum Indonesia
dengan gagasan hukum yang berasal dari sitem hukum barat, sebagai berikut:
“… inti soal sekarang ialah,
bagaimana mempersatukan tjita-tjita Timur dengan tjita-tjita dan kebutuhan
modern yang berasal dari Barat supaja menjadi suatu harmoni. Djawaban
satu-satunja jang efektif rupa-rupanja ialah: asimilasi pengertian-pengertian
Barat dalam bentuk jang sesuai dengan strukturnja masjarakat Indonesia
sendiri.”
Gagasan di atas menunjukan bahwa
sistem hukum Indonesia memikirkan masalah harmonisasi dengan hukum modern
melalui metode asimilasi pengertian konsep hukum barat yang sesuai dengan
struktur masyarakat Indonesia sendiri. Pemikiran tentang keharmonisan hukum
dengan pola asimilasi itu tersirat dalam ketentuan peralihan UUD 1945, tidak
hanya bemakna bahwa hukum peninggalan Belanda hanya untuk sekedar mengisi
kekosongan hukum yang terjadi kerena kemerdekaan Republik Indonesia.
Hal itu dapat diartikan juga
untuk memberi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan harmonisasi
hukum kolonial dengan kebutuhan masyarakat secara bertahap, menurut prosedur
dan tata cara pembentukan hukum nasional. Pengaturan mengenai harmonisasi
peraturan perundang-undangan setelah kemerdekaan sesungguhnya telah diatur di
dalam Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Rantjangan Undang-undang dan
Rantjangan Peraturan Pemerintah sebagai hatsil Panitya tersebut pada Pasal 2
Instruksi Presiden ini, sebelum diadjukan kepada Presiden, harus
disampaikan/diedarkan terlebih dahulu kepada :
- Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah jang erat hubungannja dengan materi jang diatur dalam Rantjangan jang bersangkutan, untuk mendapat tanggapan dan pertimbangan.
- Menteri Kehakiman untuk memperoleh
tanggapan seperlunja dari segi hukum.
- Sekretaris Kabinet untuk persiapan penjelesaian Rantjangan tersebut selandjutnja.
(2) Tanggapan dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ajat (1) Pasal ini dalam waktu jang
sesingkat-singkatnja harus disampaikan oleh para Menteri dan Pimpinan Lembaga
Pemerintah kepada Departemen/Lembaga jang menjiapkan Rantjangan Undang-undang
dan Rantjangan Peratupan Pemerintah jang bersangkutan.
Meskipun tidak secara tegas dan
jelas diatur dalam ketentuan Inpres No. 15 Tahun 1970, secara implisit
harmonisasi dalam pembentukan undang-undang sudah dilakukan. Hal ini terlihat,
di dalam ketentuan Pasal 3 Inpres 15 Tahun 1970, bahwa Rancangan Undang-Undang
(RUU) maupun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebelum diajukan kepada
Presiden harus disampaikan atau diedarkan kepada: (1) Para Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah yang erat hubungannya dengan materi yang diatur dalam
Rancangan yang bersangkutan, untuk mendapat tanggapan dan pertimbangan; (2)
Menteri Kehakiman untuk memperoleh tanggapan seperlunya dari segi hukum; (3)
Sekretaris Kabinet untuk persiapan penyelesaian Rancangan tersebut selanjutnya.
Menurut Penulis, penyampaian RUU
dan RPP tersebut penting untuk dilakukan, karena Menteri atau Pimpinan Lembaga
Pemerintah yang berhubungan erat dengan materi yang akan diatur di dalam
rancangan tersebut, harus terlebih dahulu mempelajari materi yang akan dibahas.
Tanggapan dan pertimbangan harus secepat-cepatnya disampaikan kepada Menteri
dan Pimpinan Lembaga Pemerintah yang menyiapkan RUU dan RPP tersebut.
Untuk mengolah tanggapan dan
pertimbangan, Departemen dan Lembaga Pemerintah, baik yang menyiapkan RUU dan
RPP maupun yang berhubungan erat dengan materi yang diatur di dalam rancangan
tersebut, mengadakan pertemuan konsultasi dan koordinasi untuk membahas
konsepsi dan materi yang terdapat di dalam RUU dan RPP. Menurut ketentuan Pasal
4 Inpres No. 15 Tahun 1970 bahwa:
”Untuk mengolah tanggapan dan
pertimbangan jang diadjukan oleh masing-masing Departemen dan Lembaga
Pemerintah tersebut ajat (2) Pasal 3 Instruksi Presiden ini, Departemen/Lembaga
Pemerintah jang menjiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan
Pemerintah tersebut dapat mengadakan pertemuan-pertemuan konsultasi, dan
koordinasi dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah jang bersangkutan”.
Selanjutnya di dalam Pasal 5
Inpres No. 15 Tahun 1970, menyebutkan bahwa:
“Hatsil terachir sebagai
kebulatan pendapat atas materi sesuatu Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan
Peraturan Pemerintah, disampaikan kepada Presiden disertai
pendjelasan-pendjelasan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga jang bersangkutan, tentang
pokok-pokok materi dari Rantjangan serta proses penggarapannja”.
Pertemuan berupa konsultasi dan
koordinasi antara Departemen dan Lembaga Pemerintah yang menyiapkan RUU dan RPP
dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah yang berhubungan erat dengan materi
rancangan tersebut adalah sebagai upaya untuk mendapatkan hasil terakhir dalam
hal kebulatan pendapat atas materi dari suatu RUU dan RPP.
Walaupun di dalam Inpres No. 15
Tahun 1970, pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tidak
disebutkan secara tegas dan jelas. Penulis beranggapan bahwa di dalam materi
Instruksi Presiden tersebut telah mengatur mengenai mekanisme
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Hal itu di dasarkan
kepada bunyi Pasal 3, 4, dan Pasal 5 yaitu adanya suatu forum konsultasi dan
koordinasi antara Departemen/Lembaga Pemerintah pemrakarsa RUU dengan
Departemen/Lembaga Pemerintah yang berhubungan erat dengan materi RUU yang akan
diatur, sebagai suatu mekanisme pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi RUU. Hal ini kemudian diadaptasi oleh Keputusan Presiden Nomor 188
Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Dengan berlakunya Keputusan
Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia sudah tidak berlaku lagi. Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun
1998 sebagai penyempurna dari Inpres No. 15 Tahun 2007 menghendaki perlunya
harmonisasi peraturan perundang-undangan. Keppres No. 188 Tahun 1998 lahir
sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan atau perubahan. Hal tersebut berkaitan dengan terjadinya
perubahan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan yang mengatur mengenai
harmonisasi dalam pembentukan undang-undang di dalam Keppres No. 188 Tahun
1998, diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa:
“Dalam rangka pengharmonisasi,
pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan
Undang-undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan Rancangan
Undang-undang wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan
Menteri Kehakiman serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait.”
Proses harmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam RUU dikonsultasikan terlebih
dahulu dengan Menteri Kehakiman serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait
dengan RUU tersebut.
Keputusan Presiden Nomor 188
Tahun 1998 sudah secara tegas dan jelas dalam mengatur proses
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan dalam pembentukan undang-undang.
Setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, maka dilakukanlah penyempurnaan
terhadap Keppres No. 188 Tahun 1998. Hal ini dikarenakan adanya perubahan yang
berkaitan dengan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
hal tersebut, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pengharmonisasian RUU diatur di
dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, dikatakan bahwa “Pengharmonisasian,
pembulatan, dan penetapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari
Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan”. Kemudian hal itu diatur lebih lanjut
di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan
Rancangan Peraturan Presiden.
Pengharmonisasian
peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi dari adanya hierarki
peraturan perundang-undangan sebagaiman diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No.
10 Tahun 2004. Terdapat 3 (tiga) alasan perlu dilakukan pengharmonisasian RUU
sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun
2004, yaitu:
- Undang-undang sebagai salah satu
jenis peraturan perundang-undangan yang merupakan subsistem dari sistem
hukum nasional. Peraturan perundang-undangan harus saling keterkaitan dan
berhubungan serta suatu kesatuan yang utuh dengan subsistem lainnya;
- Undang-undang dapat diuji (judicial
review) baik secara material maupun formal oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, berdasarkan hal tersebut
maka pengarmonisasian peraturan perundang-undangan sangat penting
dilakukan sebagai langkah pencegahan (preventif) untuk mencegah
diajukannya permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MK;
- Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
merupakan pedoman sebagai cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga
yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.[5]
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dibuat dan diberlakukan untuk lebih
meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Tanpa adanya pedoman atau metode yang pasti dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, maka akan terjadi ketidakseragaman
atau perbedaan-perbedaan bentuk antara peraturan perundang-undangan yang satu
dengan lainnya.
Posting Komentar