Ada
Apa Dengan Bahasa Hukum
Bahasa hukum bagi sebagian besar orang dianggap membingungkan, buat
saya rasanya sulit untuk menampik anggapan itu. Kenapa, karena meski saya lulus
dari sebuah fakultas hukum, tapi buat saya bahasa hukum itu terkadang menjengkelkan,
karena rumit dan berbelit-belit.
Dulu
saya suka bingung, kenapa kalau membuat surat gugatan atau surat peringatan
atau somasi atau surat-surat harus menggunakan kata “bahwa”. Setelah bertanya
pada beberapa senior, mereka menyatakan kalau terkadang penggunaan kata “bahwa”
dalam berbagai surat-surat resmi terlampau berlebihan karena “bahwa” itu hanya
digunakan untuk menunjukkan jika suatu pernyataan dibuat oleh pihak ketiga dan
bukan pernyataan dari si lawyer itu sendiri. Jadi kesimpulannya kalau bukan
pernyataan pihak ketiga maka tidak perlu menggunakan “bahwa”
Misalnya
“bahwa
kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri pada perjanjian atas dasar
kesukarelaan, kesamaan kedudukan, dll”
bisa
diubah menjadi
“kedua
belah pihak sepakat untuk membuat perjanjian atas dasar kesukarelaan, kesamaan
kedudukan, dll”
pernah
dengan kalimat “termasuk tetapi tidak terbatas pada” ini juga kalimat yang
membuat pusing karena kalimat ini sesungguhnya terjemahan dari kalimat “included but not limited to”.
Bahasa
hukum juga sangat kering ketika masuk pada proses gugatan perdata, seolah ada
pakem bahwa penggunaan bahasa harus seperti yang sudah ada. Padahal tidak ada
satupun ketentuan yang menyebutkan kalau ingin membuat gugatan harus
menggunakan bahasa yang seperti itu
Atau
pernah dengan juga kalimat “jika majelis berkehendak lain, kami meminta putusan
yang ex aquo et bono” ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi “jika majelis berkehendak lain, kami memohon putusan yang
seadil-adilnya”
Simple
kan tetapi kenapa menjadi sulit? Karena bahasa hukum menurut saya hanya bisa
dimengerti oleh segelintir orang, karena awam tidak mengerti sepenuhnya dengan
kalimat seperti itu.
Posting Komentar