Headlines News :
Home » » To-panrita

To-panrita

Written By Unknown on Selasa, 17 Juli 2012 | 15.03



Arung, To-panrita dan Transformasi
Otoritas Keagamaan dan Kecendekiawanan di Sulsel
Oleh: Wahyuddin Halim

Bagaimana idealnya seorang cendekiawan bersikap vis a vis kekuasaan? Ada yang berpendapat, cendekiawan seharusnya tidak terlibat dalam kekuasaan. Yang lain melihat cendekiawan bisa berperan ganda; sebagai birokrat yang baik sembari tetap berperan sebagai intelektual yang tetap memelihara kejernihan idealisme dan kritis. Namun, karena cendekiawan (intellectual) pada dasarnya lebih merupakan kapasitas dan kualitas ketimbang status dan posisi, cendekiawan dan kekuasaan sesungguhnya tidak perlu diposisikan kelewat dikotomis. Mengikuti Antony D. Smith (1981:109) yang melekatkan istilah intellectual untuk a type of personality and mental attitude, dapat dikatakan, kecendekiaan adalah kapasitas pribadi yang bisa dimiliki siapa pun sekaligus akumulasi peran seseorang di bidang-bidang non-intelektual, termasuk birokrasi.

Dengan alur argumen demikian, seorang cendekiawan takperlu serta-merta dianggap kehilangan kecendekiaan hanya karena dia memegang kekuasaan formal dalam masyarakat. Banyak tokoh dalam pentas politik nasional yang bisa dijadikan contoh di mana peran sebagai cendekiawan dan negarawan terpadu secara harmonis dan sinergis. Sebutlah misalnya Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Soejatmoko, A. Mukti Ali, Emil Salim, B.J. Habibie, Munawir Sjadzali, M. Quraish Shihab, M. Amin Rais, M. Ryas Rasyid, dll. Tulisan ini berupaya menunjukkan beberapa contoh peran cendekiawan dalam kekuasaan politik di Sulawesi Selatan di masa lampau sebagaimana terlihat dalam konsep “to-panrita” dan bagaimana konsep kecendekiaan itu mengalami transformasi seiring dengan penetrasi Islam di kawasan ini.

Secara etimologis, to-panrita berarti orang yang menyaksikan. Kata panrita bisa berarti  keahlian teknis, seperti tercermin dari ungkapan panrita lopi (ahli pembuat perahu), tapi dalam pengertian lain, panrita berarti ulama (sehingga dalam masyarakat seorang panrita loppo berarti ulama besar) atau pendeta.1 C. Pelras yakin bahwa kata to-panrita diambil dari bahasa Sanskerta ‘pandita’ yang berarti ‘pendeta atau pertapa.’2 Dalam pengertian Pelras, to-panrita adalah ‘orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur.’ Makna to-panrita yang lebih luas diberikan oleh Mochtar Pabottingi, seorang cendekiawan asal Sulsel. Menurutnya, to-panrita adalah orang yang bersaksi, melihat dan menyimak atas suatu keadaan dan menyatakan keadaan sebenarnya. Di sini, to-panrita bukan saja berperan sebagai pengamat yang objektif atas keadaan di sekitarnya, tapi juga memberi penilaian, kritik dan pertimbangan atas suatu keadaan. Dengan makna ini, tidak berlebihan jika to-panrita diidentikkan dengan konsep cendekiawan (intellectual) dalam terminologi modern.

Lepas dari beragam pengertian di atas, to-panrita juga merupakan salah satu dari empat kualitas utama manusia Bugis yang disebut dalam Lontara sebagai “sulapa’ eppa’” (segi empat). Keempat kualitas atau sifat tersebut merupakan modalitas yang harus dimiliki setiap pemimpin baik. Selain panrita (saleh), tiga sifat yang dimaksud adalah warani (berani), macca (cerdas) dan sugi (kaya). Menurut Mattulada, keempat sosok ideal ini, yang dia sebut sebagai ‘golongan fungsional’ (kerajaan), termasuk lapisan elit kedua dalam pelapisan masyarakat Bugis-Makassar periode Lontara. Lapisan elit pertama adalah Arung dengan lingkup anakarung, yaitu raja dengan lingkungan kerabat keluarga bangsawan, menduduki jabatan-jabatan kepemimpinan politik pemerintah, baik di pusat kerajaan maupun di daerah-daerah bawahannya. Menurut Lontara, golongan ini disetarakan dengan anakarung (bangsawan), walaupun mereka tidak berasal dari keturunan tomanurung.

Kualitas dan kapasitas utama to-panrita bisa disimpulkan dari paseng (petuah) Ma'danrengngè ri Majauleng yang bernama La Tenritau: "Aja' nasalaiko acca sibawa lempu" (Milikilah kecerdasan dan kejujuran kapan saja). Yang dimaksud La Tenritau dengan acca  adalah kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta kecakapan berkata-kata baik, logis dan lemah lembut sehingga menimbulkan kesan baik pada orang lain. Sementara lempu' adalah pola pikir dan prilaku yang selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Esa.

Dalam perspektif masyarakat Bugis-Makassar, integrasi kecerdasan dan kejujuran merupakan kualifikasi penting setiap calon pemimpin. Ketika ditanya oleh Arumpone (Raja Bone) tentang pangkal kecerdasan (appongenna accaè), Kajao Laliddong –seorang cendekiawan dan mahapatih raja Bone-- menjawab: “lempuè’” (kejujuran). Kajao Laliddong juga menyebut kejujuran raja (komalempu’i Arung Mangkauè) sebagai salah satu di antara tellu tanranna nasawè asè (indikator keberhasilan panen). La Waniaga Arung Bila, cendekiawan Soppeng abad ke-16, berkata: “Temmatè lempu’è mawatang sapparenna atongengengngè’” (Kejujuran akan terus hidup, tapi kebenaran sulit dicari).

Di masa lalu masyarakat percaya, prilaku penguasa akan menentukan kondisi kehidupan mereka. Hal ini turut berperan mengekang para penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya demi terciptanya keadilan, keamanan dan kemakmuran dalam wilayah kerajaan (akkarungeng). Menurut Andi Zainal Abidin, karena memiliki wewenang memperingatkan raja dan para pembantunya, para negarawan dan ahli filsafat di zaman kerajaan historis Sulsel adalah faktor penting yang turut membatasi kekuasaan raja.6 Sekalipun A. Z. Abidin tidak secara eksplisit menyebut mereka to-panrita, tapi peran mereka sepenuhnya identik dengan konotasi to-panrita yang dikemukakan di atas. Begitu vitalnya peran seorang yang berpengetahuan dalam sebuah wanua, Karaèng Pattingaloang, salah seorang ilmuan dan cendekiawan ulung kerajaan Gowa Tallo abad ke-17, memperingatkan bahwa salah satu di antara lima faktor keruntuhan suatu negeri (lima pammanjènganna matèna butta lompowa) adalah jika tiada lagi cendekiawan di dalam negeri (punna tèenamo tomangissèngan ri lalang pa’rasanganga).7

Peran penting seorang cendekiawan atau to-panrita dalam dinamika sosial-politik di Sulsel era kerajaan historis dapat dilihat, misalnya, dalam rekaman Lontara berikut. Sebelum dilantik jadi datu Soppeng ke-9 yang hidup di paruh kedua abad ke-15, Lamannussak To Akkarangeng mendatangi sejumlah to-panrita di Sulsel, termasuk To Ciung Maccae (XV-XVI) di Luwu, guna mempelajari ilmu kepemimpinan. Salah satu paseng To Ciung kepada Lamannussak: “Jagaiwi balimmu wèkka siseng, mujagaiwi rangeng-rangengmu wèkka sisebbu, nasabak rangeng-rangeng mutu matuk solangiko”8 (Waspadailah lawan-lawanmu satu kali, waspadailah kawan-kawanmu seribu kali. Sebab yang terakhir inilah yang bisa membuatmu rusak). To Ciung juga menganjurkan Lammannussak sekali-sekali berkonsultasi dengan cendekiawan --yang enggan berkunjung ke istana seperti halnya para oportunis—tentang  masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan matang karena mereka justru mengatakan banyak kebenaran (Obbi’i to accaè tassisèng-sisèeng mutanaiwi, nasaba’ maègatu patuju napau).

Petuah-petuah atau paseng dari sejumlah to-panrita yang kerap muncul dalam wacana orang tua-tua Bugis-Makassar belakangan menjadi dasar bagi sebagian besar ajaran etika tradisional karena kandungan mereka yang universal dan perenial --seperti terekam dalam berbagai Lontara. Di antara to-panrita yang termaksud adalah: To Ciung Maccaè di Luwu (Abad XV), Nènè Maggading di Suppa' (abad XV), La Tiringeng To Taba' dan La Tadampare Puang Ri Maggalatung, keduanya dari Wajo (Abad XV), La Waniaga Arung Bila di Soppeng (Abad XVI), Nene Pasiru' (Abad XV) dan La Pagala Nènè Mallomo (Abad XVI) di Sidenreng, La Mèllong Kajao Laliddong di Bone (abad XVI), Karaeng Botolèmpangan di Gowa (abad XVII), dan I Mangadacinna Daèng Sitaba Karaèng Pattingalloang di Gowa-Tallo (abad XVII). Sosok La Tiringeng To Taba di Wajo mungkin bisa diulas lebih jauh di sini sekedar sebagai contoh.  Menurut Andi Pabarangi, peran La Tiringeng takdapat dipisahkan dari perjanjian awal antara rakyat dan raja Wajo di La Paddeppa’ yang berhasil merumuskan prinsip-prinsip utama ketatanegaraan (konstitusi) kerajaan Wajo di abad ke-15. Abdurrazak Daeng Patunru dalam Sejarah Wajo (1964) menyatakan, lepas dari peran penting lima Arung Matowa Wajo terkemuka (La Tadampare', La Mungkacè', La Tenrilai, La Salèwangeng dan La Maddukelleng), La Tiringeng adalah tokoh besar Wajo.9 Arung Saotanrè yang bergelar Arung Bèttèmpola ini hidup sezaman dengan empat Arung Matowa Wajo yang pertama. Bèttèmpola adalah negeri bagian kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua.

Selama hidupnya, La Tiringeng kerapkali mengambil alih peranan Arung Matowa merumuskan berbagai undang-undang dan keputusan penting tentang berbagai masalah sosial-politik Wajo di abad ke-15 dan 16, masa-masa ketika kerajaan ini dipandang mencapai puncak kejayaannya.10 Karena kecerdasan dan kebijaksanaannya juga, La Tiringeng menjadi tempat orang-orang Wajo bertanya dan meminta nasehat atas beragam persoalan. Namun, lepas dari peran penting dia dalam kerajaan Wajo, ada satu hal yang membuat orang-orang Wajo memandangnya sebagai sosok pemimpin yang konsisten memegang janji dan tidak memiliki ambisi pribadi kecuali kepentingan untuk memajukan rakyat dan kerajaan. Dia selalu menolak permintaan (bahkan “tekanan”) rakyat Wajo agar dia menjadi Arung Matoa setiap kali terjadi kekosongan pemerintahan karena meninggalnya Arung Matoa yang sedang memerintah (harap dicatat, jabatan arung matoa Wajo bukan diwarisan secara turun-temurun tapi dipilih oleh Arung Patappuloe [40 bangsawan utama], lembaga semacam DPR). Alasan dia, hal itu bertentangan dengan perjanjian awalnya dengan rakyat Wajo. Menurut A. Z. Abidin, La Tiringeng dipandang sebagai pemimpin rakyat bukan saja karena ascribed status dan “kesakralannya,” tetapi juga terutama karena personal qualities serta jasanya dalam menyusun  dan melaksanakan sistem kekuasaan yang terbatas kepada raja dan para aparatnya.11 Oleh karena itu, tidak berlebihan jika A.D. Patunru memandang La Tiringeng sebagai “ahli filsafat” Wajo.

Sebagaimana To Ciung Maccaè, Nènè Mallomo, Arung Bila, Kajao Laliddong dan Karaèng Pattingalloang, La Tiringeng mewujudkan diri sebagai sosok to-panrita Bugis par excellence; seorang cendekiawan dan negarawan yang tidak saja bijaksana, cerdas dan mencintai rakyatnya, tetapi juga ahli dan penegak hukum yang tegas, jujur dan tidak terbius kekuasaan dan kekayaan. Tidaklah aneh jika petuah-petuahnya lebih dari enam abad silam tampak masih relevan ditelaah sebagai sumber inspirasi, landasan etika dan pedoman dalam menata kehidupan sosial, hukum, politik dan pemerintahan di masa kini, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Salah satu pesan La Tiringeng yang mungkin tetap kompatible digemakan di masa kini adalah, “Napoallebirengngi to Wajoè, maradèkaè, na malempu, na mapaccing ri gau’ salaè, marèso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna.13 (Orang Wajo mulia karena mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan memelihara harta benda).

La Tadampare Puang Ri Maggalatung, juga di Wajo dan masih sempat semasa dengan La Tiringeng To Taba, mungkin merupakan sosok to-panrita yang lebih unik lagi. Sebagai Arung Matoa Wajo ke-4, dia menampilkan diri sebagai pemimpin dan cendekiawan yang cerdas, adil, tegas dan bijaksana sehingga di masa pemerintahannyalah, Kerajaan Wajo dipandang mencapai puncak kegemilangannya.14 Tampaknya, salah satu faktor penting yang membawa Wajo mencapai the golden age-nya tersebut adalah karena selama periode itu tercipta semacam sinergi dan harmoni antara penguasa (Puang Ri Maggalatung) dan cendekiawan atau to-panrita. Salah satu ungkapan Puang Ri Maggalatung yang terkenal dan belakangan bahkan juga menjadi semboyang atau salah satu ade’ ammaradèkangenna to Wajo’è adalah: “Maradèka to Wajo’è, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè maradèka maneng, ade’ assamaturusennami napopuang.” (Orang Wajo itu merdeka dan dilahirkan merdeka. Hanya tanah yang menjadi budak sementara manusia yang hidup di atasnya adalah merdeka. Hanya adat permufakatan [konsensus] mereka yang mereka patuhi). Ini artinya orang-orang Wajo itu tidak terikat oleh perintah seorang raja (Arung Matoa) jika perintah itu bertentangan dengan ade’ assamaturusenna to Wajo’è (konsensus orang-orang Wajo). “The man chosen as arung matoa is,” tulis J. Noorduyn, “it is true, ‘the highest ruler’, but only on the grounds of what his country, his people and their representatives signify. His fundamental dependence on those who have chosen him is here laid down.”
Bahkan dalam ungkapan lain, yang juga  diasosiasikan dengan Puang Ri Maggalatung, disebutkan “Ri laleng tampu’ mupi namaradèka to Wajo’è.” (Bahkan semenjak masih dalam kandungan, orang-orang Wajo sudah merdeka).

Karena itulah, sungguh menyedihkan jika dicermati bahwa dalam masyarakat Wajo masa kini, juga di beberapa daerah lain di Sulsel, prinsip persamaan hak di depan hukum, keadilan dan kemerdekaan berusaha dan berpendapat orang-orang yang tinggal di Wajo cenderung semakin diabaikan. Padahal prinsip-prinsip itulah juga yang beberapa abad kemudian dirumuskan sebagai konsep demokrasi di Barat. Gaya kepemimpinan feodalistik yang memperlakukan bawahan sebagai ata atau budak yang harus selalu patuh kepada perintah atasan mereka sekalipun perintah itu bertentangan dengan undang-undang dan konsensus, tampaknya mulai ditampilkan lagi. Mereka lupa, bahwa Puang Ri Maggalatung, karena memandang semua manusia pada hakikatnya dilahirkan bebas dan sama harkat dan martabatnya di mata Tuhan, dia memilih menyeru atau menyapa rakyatnya dengan panggilan “ana’ eppoku” , yang berarti anak-cucuku.

Setelah hampir seluruh kerajaan di Sulsel terislamisasi secara struktural pada dekade awal abad ke-17,16 konsep to-panrita tampaknya juga mengalami perluasan makna. Seperti ditulis Pelras,17 sekalipun istilah to-panrita berasal dari bahasa Sanskerta, setelah Islam diterima di Sulsel ia disemaknakan dengan kata ‘Arab ‘alim (jamak: ‘ulama). Dalam konteks masyarakat Sulsel kontemporer, to-panrita tidak saja bermakna tokoh yang saleh dan berilmu pengetahuan keislaman yang luas, tapi juga menjadi semacam tokoh teladan (role model) dalam masyarakat serta kualitas moral yang diidamkan orang-orang tua bisa dimiliki anak-anak mereka ketika beranjak dewasa. Karena itulah, ungkapan “tau ‘lao sala mancaji to-panrita” (orang bajingan berubah menjadi orang alim) merujuk kepada seseorang yang telah mengalami semacam pertobatan diri atau transformasi karakter dari yang buruk menjadi baik. Biasanya, proses peralihan ini terkulminasi pada keputusan untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah.

Seiring dengan tumbuhnya di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 sejumlah lembaga pendidikan Islam tradisional di Sulsel (pesantren) yang melahirkan sosok ‘ulama tradisional, konsep to-panrita pun mengalami pergeseran makna lebih lanjut. Suatu hal yang tak mengherankan mengingat, setelah kedatangan Islam, muncullah ‘ulama yang mengambil alih peran to-panrita dalam makna tradisionalnya. Kenyataannya, ulama tradisional di masa lalu tidak saja menguasai ilmu-ilmu keislaman tetapi juga kerapkali menampilkan diri sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, kesehatan, hukum, ekonomi, budaya dan politik yang muncul dalam masyarakatnya. Wajarlah, mereka tidak saja menjadi gurutta (guru kita) dalam arti mengajari orang-orang tentang berbagai masalah agama dalam lembaga pendidikan tradisional, tetapi juga menjadi rujukan bagi  orang-orang yang membutuhkan nasehat dan doa-doa mustajab untuk urusan tertentu. Orang-orang ini mendatangi gurutta, misalnya, ketika mereka sangat berharap memperoleh kesuksesan dalam berbisnis, keberlimpahan hasil panen, kesembuhan dari penyakit jasmani dan rohani, penyelesaian masalah hukum atau keselamatan di medan pertempuran (ilmu kebal/kesaktian).

Lebih penting lagi, seperti peran to-panrita di masa lalu, para ulama juga berperan sebagai penasehat atau konsultan para penguasa (sultan) dalam menyelesaikan berbagai masalah yang sedang mengemuka dalam wilayah kekuasaan mereka. Dalam terminologi modern, to-panrita/’ulama sesungguhnya merepresentasikan diri sebagai salah satu komponen penting civil society di masa lalu. Sebab, dengan kapasitas, otoritas dan perngaruh keilmuan dan keagamaan mereka, mereka bisa berperan penting dalam membatasi secara tidak langsung wewenang dan kekuasaan penguasa. Jika menurut Pelras prototipe to-panrita pra-Islam adalah We Tenriabeng, saudara kembar Sawerigading, maka mungkin cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sosok to-panrita par excellence Sulsel pasca-Islamisasi adalah Syekh Yusuf Al-Makassari (1626-1699).19 Sementara AGH. Muhammad As’ad di Wajo (1907-1952)20 dan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996)21 di Barru, sekedar menyebut dua contoh yang paling terkenal, adalah sosok to-panrita di masa kontemporer.

Jadi, seperti ditunjukkan di atas, dalam bidang sosial, hukum, budaya, agama dan kekuasaan politik, peran to-panrita dalam masyarakat Sulsel terlihat sangat sentral. Hubungan harmonis dan saling menghargai antara arung dan to-panrita, atau dalam terminologi keilmuan Islam, antara ‘umara (Arab, tunggal: ‘amir, penguasa) dan ‘ulama’, adalah salah satu faktor penting sehingga beberapa kerajaan tradisional Sulsel dapat mencapai puncak kegemilangan dalam fase-fase tertentu sejarah mereka. Dengan kata lain, meminjam jargon Pemprov Sulsel periode lalu, prinsip sipakalebbi (saling menghormati), sipakatau (saling menghargai), dan sipakainge’ (saling mengingatkan) antara arung dan to-panrita benar-benar terpelihara. Sementara itu, penetrasi Islam di Sulsel, sebagaimana diakui oleh Pelras, ‘menyumbangkan warna baru  terhadap prototipe [manusia Bugis: WH] yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika.

Walhasil, dalam konteks sosial-politik Sulsel kontemporer, apakah hubungan seperti ini masih dapat dijumpai di antara arung/’umara’ dan to-panrita/’ulama’? Dengan kata lain, masih adakah pejabat tinggi atau calon pejabat yang mau mendatangi cendekiawan/ulama dan meminta nasehat dan kritik dari mereka seperti yang dilakukan Lamannussak di atas? Atau, masihkah adakah ulama dalam masyarakat kita saat ini dengan kualifikasi to-panrita --dalam pengertian tradisional dan modernnya-- yang senantiasa concern dengan masalah-masalah keumatan, jujur, tulus dan berani menasehati, mengkritik dan mengoreksi penguasa yang korup dan mementingkan diri sendiri? Ataukah sebaliknya, yang lebih kerap dijumpai sekarang adalah pentas persaingan dan perseteruan antara kedua sosok tersebut dalam mendapatkan atau melanggengkan pengaruh sosial, kegamaan, kultural dan politik di tengah-tengah masyarakat Sulsel demi mencapai tujuan-tujuan politik jangka pendek mereka. Jika demikian, saya khawatir, alih-alih menampilkan prinsip sipakalebbi, sipakatau dan sipakainge’, mereka justru sedang mempertontonkan budaya sipakasiri’-siri’ (saling mempermalukan), sipakatau-tau (saling mengancam dan menakut-nakuti) dan sipakalinge’-linge’ (sama-sama gila) di hadapan masyarakat mereka? Semoga jawaban untuk ketiga pertanyaan di atas adalah afirmatif. 
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : twitter@wajoterkini | facebook WAJOTERKINI.com | PinBB: 2A9F133B | Google@wajoterkini
Copyright © 2011. Kawali News - All Rights Reserved
Template Created by Published by Bakri Grafika
Proudly powered by wajoterkini