Arung,
To-panrita dan Transformasi
Otoritas
Keagamaan dan Kecendekiawanan di Sulsel
Oleh:
Wahyuddin Halim
Bagaimana idealnya
seorang cendekiawan bersikap vis a vis kekuasaan? Ada yang berpendapat,
cendekiawan seharusnya tidak terlibat dalam kekuasaan. Yang lain melihat
cendekiawan bisa berperan ganda; sebagai birokrat yang baik sembari tetap
berperan sebagai intelektual yang tetap memelihara kejernihan idealisme dan
kritis. Namun, karena cendekiawan (intellectual) pada dasarnya lebih merupakan
kapasitas dan kualitas ketimbang status dan posisi, cendekiawan dan kekuasaan
sesungguhnya tidak perlu diposisikan kelewat dikotomis. Mengikuti Antony D.
Smith (1981:109) yang melekatkan istilah intellectual untuk a type of
personality and mental attitude, dapat dikatakan, kecendekiaan adalah kapasitas
pribadi yang bisa dimiliki siapa pun sekaligus akumulasi peran seseorang di
bidang-bidang non-intelektual, termasuk birokrasi.
Dengan alur
argumen demikian, seorang cendekiawan takperlu serta-merta dianggap kehilangan
kecendekiaan hanya karena dia memegang kekuasaan formal dalam masyarakat.
Banyak tokoh dalam pentas politik nasional yang bisa dijadikan contoh di mana
peran sebagai cendekiawan dan negarawan terpadu secara harmonis dan sinergis.
Sebutlah misalnya Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Soejatmoko,
A. Mukti Ali, Emil Salim, B.J. Habibie, Munawir Sjadzali, M. Quraish Shihab, M.
Amin Rais, M. Ryas Rasyid, dll. Tulisan ini berupaya menunjukkan beberapa
contoh peran cendekiawan dalam kekuasaan politik di Sulawesi Selatan di masa
lampau sebagaimana terlihat dalam konsep “to-panrita” dan bagaimana konsep
kecendekiaan itu mengalami transformasi seiring dengan penetrasi Islam di
kawasan ini.
Secara etimologis,
to-panrita berarti orang yang menyaksikan. Kata panrita bisa berarti keahlian teknis, seperti tercermin dari ungkapan
panrita lopi (ahli pembuat perahu), tapi dalam pengertian lain, panrita berarti
ulama (sehingga dalam masyarakat seorang panrita loppo berarti ulama besar)
atau pendeta.1 C. Pelras yakin bahwa kata to-panrita diambil dari bahasa
Sanskerta ‘pandita’ yang berarti ‘pendeta atau pertapa.’2 Dalam pengertian
Pelras, to-panrita adalah ‘orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana,
saleh dan jujur.’ Makna to-panrita yang lebih luas diberikan oleh Mochtar
Pabottingi, seorang cendekiawan asal Sulsel. Menurutnya, to-panrita adalah
orang yang bersaksi, melihat dan menyimak atas suatu keadaan dan menyatakan
keadaan sebenarnya. Di sini, to-panrita bukan saja berperan sebagai pengamat
yang objektif atas keadaan di sekitarnya, tapi juga memberi penilaian, kritik
dan pertimbangan atas suatu keadaan. Dengan makna ini, tidak berlebihan jika
to-panrita diidentikkan dengan konsep cendekiawan (intellectual) dalam
terminologi modern.
Lepas
dari beragam pengertian di atas, to-panrita juga merupakan salah satu dari
empat kualitas utama manusia Bugis yang disebut dalam Lontara sebagai “sulapa’
eppa’” (segi empat). Keempat kualitas atau sifat tersebut merupakan modalitas
yang harus dimiliki setiap pemimpin baik. Selain panrita (saleh), tiga sifat
yang dimaksud adalah warani (berani), macca (cerdas) dan sugi (kaya). Menurut
Mattulada, keempat sosok ideal ini, yang dia sebut sebagai ‘golongan
fungsional’ (kerajaan), termasuk lapisan elit kedua dalam pelapisan masyarakat Bugis-Makassar
periode Lontara. Lapisan elit pertama adalah Arung dengan lingkup anakarung,
yaitu raja dengan lingkungan kerabat keluarga bangsawan, menduduki
jabatan-jabatan kepemimpinan politik pemerintah, baik di pusat kerajaan maupun
di daerah-daerah bawahannya. Menurut Lontara, golongan ini disetarakan dengan
anakarung (bangsawan), walaupun mereka tidak berasal dari keturunan tomanurung.
Kualitas
dan kapasitas utama to-panrita bisa disimpulkan dari paseng (petuah)
Ma'danrengngè ri Majauleng yang bernama La Tenritau: "Aja' nasalaiko acca
sibawa lempu" (Milikilah kecerdasan dan kejujuran kapan saja). Yang
dimaksud La Tenritau dengan acca adalah
kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta
kecakapan berkata-kata baik, logis dan lemah lembut sehingga menimbulkan kesan
baik pada orang lain. Sementara lempu' adalah pola pikir dan prilaku yang
selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Esa.
Dalam
perspektif masyarakat Bugis-Makassar, integrasi kecerdasan dan kejujuran
merupakan kualifikasi penting setiap calon pemimpin. Ketika ditanya oleh
Arumpone (Raja Bone) tentang pangkal kecerdasan (appongenna accaè), Kajao
Laliddong –seorang cendekiawan dan mahapatih raja Bone-- menjawab: “lempuè’”
(kejujuran). Kajao Laliddong juga menyebut kejujuran raja (komalempu’i Arung
Mangkauè) sebagai salah satu di antara tellu tanranna nasawè asè (indikator
keberhasilan panen). La Waniaga Arung Bila, cendekiawan Soppeng abad ke-16,
berkata: “Temmatè lempu’è mawatang sapparenna atongengengngè’” (Kejujuran akan
terus hidup, tapi kebenaran sulit dicari).
Di
masa lalu masyarakat percaya, prilaku penguasa akan menentukan kondisi
kehidupan mereka. Hal ini turut berperan mengekang para penguasa agar tidak
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya demi terciptanya keadilan,
keamanan dan kemakmuran dalam wilayah kerajaan (akkarungeng). Menurut Andi
Zainal Abidin, karena memiliki wewenang memperingatkan raja dan para
pembantunya, para negarawan dan ahli filsafat di zaman kerajaan historis Sulsel
adalah faktor penting yang turut membatasi kekuasaan raja.6 Sekalipun A. Z.
Abidin tidak secara eksplisit menyebut mereka to-panrita, tapi peran mereka
sepenuhnya identik dengan konotasi to-panrita yang dikemukakan di atas. Begitu
vitalnya peran seorang yang berpengetahuan dalam sebuah wanua, Karaèng
Pattingaloang, salah seorang ilmuan dan cendekiawan ulung kerajaan Gowa Tallo
abad ke-17, memperingatkan bahwa salah satu di antara lima faktor keruntuhan
suatu negeri (lima pammanjènganna matèna butta lompowa) adalah jika tiada lagi
cendekiawan di dalam negeri (punna tèenamo tomangissèngan ri lalang
pa’rasanganga).7
Peran
penting seorang cendekiawan atau to-panrita dalam dinamika sosial-politik di
Sulsel era kerajaan historis dapat dilihat, misalnya, dalam rekaman Lontara
berikut. Sebelum dilantik jadi datu Soppeng ke-9 yang hidup di paruh kedua abad
ke-15, Lamannussak To Akkarangeng mendatangi sejumlah to-panrita di Sulsel,
termasuk To Ciung Maccae (XV-XVI) di Luwu, guna mempelajari ilmu kepemimpinan.
Salah satu paseng To Ciung kepada Lamannussak: “Jagaiwi balimmu wèkka siseng,
mujagaiwi rangeng-rangengmu wèkka sisebbu, nasabak rangeng-rangeng mutu matuk
solangiko”8 (Waspadailah lawan-lawanmu satu kali, waspadailah kawan-kawanmu
seribu kali. Sebab yang terakhir inilah yang bisa membuatmu rusak). To Ciung
juga menganjurkan Lammannussak sekali-sekali berkonsultasi dengan cendekiawan
--yang enggan berkunjung ke istana seperti halnya para oportunis—tentang masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan
matang karena mereka justru mengatakan banyak kebenaran (Obbi’i to accaè
tassisèng-sisèeng mutanaiwi, nasaba’ maègatu patuju napau).
Petuah-petuah
atau paseng dari sejumlah to-panrita yang kerap muncul dalam wacana orang
tua-tua Bugis-Makassar belakangan menjadi dasar bagi sebagian besar ajaran
etika tradisional karena kandungan mereka yang universal dan perenial --seperti
terekam dalam berbagai Lontara. Di antara to-panrita yang termaksud adalah: To
Ciung Maccaè di Luwu (Abad XV), Nènè Maggading di Suppa' (abad XV), La
Tiringeng To Taba' dan La Tadampare Puang Ri Maggalatung, keduanya dari Wajo
(Abad XV), La Waniaga Arung Bila di Soppeng (Abad XVI), Nene Pasiru' (Abad XV)
dan La Pagala Nènè Mallomo (Abad XVI) di Sidenreng, La Mèllong Kajao Laliddong di
Bone (abad XVI), Karaeng Botolèmpangan di Gowa (abad XVII), dan I Mangadacinna
Daèng Sitaba Karaèng Pattingalloang di Gowa-Tallo (abad XVII). Sosok La
Tiringeng To Taba di Wajo mungkin bisa diulas lebih jauh di sini sekedar
sebagai contoh. Menurut Andi Pabarangi,
peran La Tiringeng takdapat dipisahkan dari perjanjian awal antara rakyat dan
raja Wajo di La Paddeppa’ yang berhasil merumuskan prinsip-prinsip utama
ketatanegaraan (konstitusi) kerajaan Wajo di abad ke-15. Abdurrazak Daeng
Patunru dalam Sejarah Wajo (1964) menyatakan, lepas dari peran penting lima
Arung Matowa Wajo terkemuka (La Tadampare', La Mungkacè', La Tenrilai, La
Salèwangeng dan La Maddukelleng), La Tiringeng adalah tokoh besar Wajo.9 Arung
Saotanrè yang bergelar Arung Bèttèmpola ini hidup sezaman dengan empat Arung
Matowa Wajo yang pertama. Bèttèmpola adalah negeri bagian kerajaan Wajo selain
Talotenreng dan Tua.
Selama
hidupnya, La Tiringeng kerapkali mengambil alih peranan Arung Matowa merumuskan
berbagai undang-undang dan keputusan penting tentang berbagai masalah
sosial-politik Wajo di abad ke-15 dan 16, masa-masa ketika kerajaan ini
dipandang mencapai puncak kejayaannya.10 Karena kecerdasan dan kebijaksanaannya
juga, La Tiringeng menjadi tempat orang-orang Wajo bertanya dan meminta nasehat
atas beragam persoalan. Namun, lepas dari peran penting dia dalam kerajaan
Wajo, ada satu hal yang membuat orang-orang Wajo memandangnya sebagai sosok
pemimpin yang konsisten memegang janji dan tidak memiliki ambisi pribadi
kecuali kepentingan untuk memajukan rakyat dan kerajaan. Dia selalu menolak
permintaan (bahkan “tekanan”) rakyat Wajo agar dia menjadi Arung Matoa setiap
kali terjadi kekosongan pemerintahan karena meninggalnya Arung Matoa yang
sedang memerintah (harap dicatat, jabatan arung matoa Wajo bukan diwarisan
secara turun-temurun tapi dipilih oleh Arung Patappuloe [40 bangsawan utama],
lembaga semacam DPR). Alasan dia, hal itu bertentangan dengan perjanjian
awalnya dengan rakyat Wajo. Menurut A. Z. Abidin, La Tiringeng dipandang sebagai
pemimpin rakyat bukan saja karena ascribed status dan “kesakralannya,” tetapi
juga terutama karena personal qualities serta jasanya dalam menyusun dan melaksanakan sistem kekuasaan yang
terbatas kepada raja dan para aparatnya.11 Oleh karena itu, tidak berlebihan
jika A.D. Patunru memandang La Tiringeng sebagai “ahli filsafat” Wajo.
Sebagaimana
To Ciung Maccaè, Nènè Mallomo, Arung Bila, Kajao Laliddong dan Karaèng
Pattingalloang, La Tiringeng mewujudkan diri sebagai sosok to-panrita Bugis par
excellence; seorang cendekiawan dan negarawan yang tidak saja bijaksana, cerdas
dan mencintai rakyatnya, tetapi juga ahli dan penegak hukum yang tegas, jujur
dan tidak terbius kekuasaan dan kekayaan. Tidaklah aneh jika petuah-petuahnya
lebih dari enam abad silam tampak masih relevan ditelaah sebagai sumber
inspirasi, landasan etika dan pedoman dalam menata kehidupan sosial, hukum,
politik dan pemerintahan di masa kini, baik di tingkat lokal, regional maupun
nasional. Salah satu pesan La Tiringeng yang mungkin tetap kompatible digemakan
di masa kini adalah, “Napoallebirengngi to Wajoè, maradèkaè, na malempu, na
mapaccing ri gau’ salaè, marèso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna.13
(Orang Wajo mulia karena mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari
prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan memelihara harta benda).
La
Tadampare Puang Ri Maggalatung, juga di Wajo dan masih sempat semasa dengan La
Tiringeng To Taba, mungkin merupakan sosok to-panrita yang lebih unik lagi.
Sebagai Arung Matoa Wajo ke-4, dia menampilkan diri sebagai pemimpin dan
cendekiawan yang cerdas, adil, tegas dan bijaksana sehingga di masa
pemerintahannyalah, Kerajaan Wajo dipandang mencapai puncak kegemilangannya.14
Tampaknya, salah satu faktor penting yang membawa Wajo mencapai the golden age-nya
tersebut adalah karena selama periode itu tercipta semacam sinergi dan harmoni
antara penguasa (Puang Ri Maggalatung) dan cendekiawan atau to-panrita. Salah
satu ungkapan Puang Ri Maggalatung yang terkenal dan belakangan bahkan juga
menjadi semboyang atau salah satu ade’ ammaradèkangenna to Wajo’è adalah:
“Maradèka to Wajo’è, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè
maradèka maneng, ade’ assamaturusennami napopuang.” (Orang Wajo itu merdeka dan
dilahirkan merdeka. Hanya tanah yang menjadi budak sementara manusia yang hidup
di atasnya adalah merdeka. Hanya adat permufakatan [konsensus] mereka yang
mereka patuhi). Ini artinya orang-orang Wajo itu tidak terikat oleh perintah
seorang raja (Arung Matoa) jika perintah itu bertentangan dengan ade’
assamaturusenna to Wajo’è (konsensus orang-orang Wajo). “The man chosen as
arung matoa is,” tulis J. Noorduyn, “it is true, ‘the highest ruler’, but only
on the grounds of what his country, his people and their representatives
signify. His fundamental dependence on those who have chosen him is here laid
down.”
Bahkan
dalam ungkapan lain, yang juga diasosiasikan
dengan Puang Ri Maggalatung, disebutkan “Ri laleng tampu’ mupi namaradèka to
Wajo’è.” (Bahkan semenjak masih dalam kandungan, orang-orang Wajo sudah
merdeka).
Karena
itulah, sungguh menyedihkan jika dicermati bahwa dalam masyarakat Wajo masa
kini, juga di beberapa daerah lain di Sulsel, prinsip persamaan hak di depan
hukum, keadilan dan kemerdekaan berusaha dan berpendapat orang-orang yang tinggal
di Wajo cenderung semakin diabaikan. Padahal prinsip-prinsip itulah juga yang
beberapa abad kemudian dirumuskan sebagai konsep demokrasi di Barat. Gaya
kepemimpinan feodalistik yang memperlakukan bawahan sebagai ata atau budak yang
harus selalu patuh kepada perintah atasan mereka sekalipun perintah itu
bertentangan dengan undang-undang dan konsensus, tampaknya mulai ditampilkan
lagi. Mereka lupa, bahwa Puang Ri Maggalatung, karena memandang semua manusia
pada hakikatnya dilahirkan bebas dan sama harkat dan martabatnya di mata Tuhan,
dia memilih menyeru atau menyapa rakyatnya dengan panggilan “ana’ eppoku” ,
yang berarti anak-cucuku.
Setelah
hampir seluruh kerajaan di Sulsel terislamisasi secara struktural pada dekade
awal abad ke-17,16 konsep to-panrita tampaknya juga mengalami perluasan makna.
Seperti ditulis Pelras,17 sekalipun istilah to-panrita berasal dari bahasa
Sanskerta, setelah Islam diterima di Sulsel ia disemaknakan dengan kata ‘Arab
‘alim (jamak: ‘ulama). Dalam konteks masyarakat Sulsel kontemporer, to-panrita
tidak saja bermakna tokoh yang saleh dan berilmu pengetahuan keislaman yang
luas, tapi juga menjadi semacam tokoh teladan (role model) dalam masyarakat
serta kualitas moral yang diidamkan orang-orang tua bisa dimiliki anak-anak mereka
ketika beranjak dewasa. Karena itulah, ungkapan “tau ‘lao sala mancaji
to-panrita” (orang bajingan berubah menjadi orang alim) merujuk kepada
seseorang yang telah mengalami semacam pertobatan diri atau transformasi
karakter dari yang buruk menjadi baik. Biasanya, proses peralihan ini
terkulminasi pada keputusan untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah.
Seiring
dengan tumbuhnya di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 sejumlah lembaga
pendidikan Islam tradisional di Sulsel (pesantren) yang melahirkan sosok ‘ulama
tradisional, konsep to-panrita pun mengalami pergeseran makna lebih lanjut.
Suatu hal yang tak mengherankan mengingat, setelah kedatangan Islam, muncullah
‘ulama yang mengambil alih peran to-panrita dalam makna tradisionalnya.
Kenyataannya, ulama tradisional di masa lalu tidak saja menguasai ilmu-ilmu
keislaman tetapi juga kerapkali menampilkan diri sebagai sosok yang memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, kesehatan, hukum,
ekonomi, budaya dan politik yang muncul dalam masyarakatnya. Wajarlah, mereka
tidak saja menjadi gurutta (guru kita) dalam arti mengajari orang-orang tentang
berbagai masalah agama dalam lembaga pendidikan tradisional, tetapi juga
menjadi rujukan bagi orang-orang yang
membutuhkan nasehat dan doa-doa mustajab untuk urusan tertentu. Orang-orang ini
mendatangi gurutta, misalnya, ketika mereka sangat berharap memperoleh
kesuksesan dalam berbisnis, keberlimpahan hasil panen, kesembuhan dari penyakit
jasmani dan rohani, penyelesaian masalah hukum atau keselamatan di medan
pertempuran (ilmu kebal/kesaktian).
Lebih
penting lagi, seperti peran to-panrita di masa lalu, para ulama juga berperan
sebagai penasehat atau konsultan para penguasa (sultan) dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang sedang mengemuka dalam wilayah kekuasaan mereka. Dalam
terminologi modern, to-panrita/’ulama sesungguhnya merepresentasikan diri
sebagai salah satu komponen penting civil society di masa lalu. Sebab, dengan
kapasitas, otoritas dan perngaruh keilmuan dan keagamaan mereka, mereka bisa
berperan penting dalam membatasi secara tidak langsung wewenang dan kekuasaan
penguasa. Jika menurut Pelras prototipe to-panrita pra-Islam adalah We
Tenriabeng, saudara kembar Sawerigading, maka mungkin cukup beralasan untuk
mengatakan bahwa sosok to-panrita par excellence Sulsel pasca-Islamisasi adalah
Syekh Yusuf Al-Makassari (1626-1699).19 Sementara AGH. Muhammad As’ad di Wajo
(1907-1952)20 dan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996)21 di Barru, sekedar
menyebut dua contoh yang paling terkenal, adalah sosok to-panrita di masa
kontemporer.
Jadi,
seperti ditunjukkan di atas, dalam bidang sosial, hukum, budaya, agama dan
kekuasaan politik, peran to-panrita dalam masyarakat Sulsel terlihat sangat
sentral. Hubungan harmonis dan saling menghargai antara arung dan to-panrita,
atau dalam terminologi keilmuan Islam, antara ‘umara (Arab, tunggal: ‘amir,
penguasa) dan ‘ulama’, adalah salah satu faktor penting sehingga beberapa
kerajaan tradisional Sulsel dapat mencapai puncak kegemilangan dalam fase-fase
tertentu sejarah mereka. Dengan kata lain, meminjam jargon Pemprov Sulsel
periode lalu, prinsip sipakalebbi (saling menghormati), sipakatau (saling
menghargai), dan sipakainge’ (saling mengingatkan) antara arung dan to-panrita
benar-benar terpelihara. Sementara itu, penetrasi Islam di Sulsel, sebagaimana
diakui oleh Pelras, ‘menyumbangkan warna baru terhadap prototipe [manusia Bugis: WH] yang
ada dengan memperkuat aspek-aspek etika.
Walhasil,
dalam konteks sosial-politik Sulsel kontemporer, apakah hubungan seperti ini
masih dapat dijumpai di antara arung/’umara’ dan to-panrita/’ulama’? Dengan
kata lain, masih adakah pejabat tinggi atau calon pejabat yang mau mendatangi
cendekiawan/ulama dan meminta nasehat dan kritik dari mereka seperti yang
dilakukan Lamannussak di atas? Atau, masihkah adakah ulama dalam masyarakat
kita saat ini dengan kualifikasi to-panrita --dalam pengertian tradisional dan
modernnya-- yang senantiasa concern dengan masalah-masalah keumatan, jujur,
tulus dan berani menasehati, mengkritik dan mengoreksi penguasa yang korup dan
mementingkan diri sendiri? Ataukah sebaliknya, yang lebih kerap dijumpai
sekarang adalah pentas persaingan dan perseteruan antara kedua sosok tersebut
dalam mendapatkan atau melanggengkan pengaruh sosial, kegamaan, kultural dan
politik di tengah-tengah masyarakat Sulsel demi mencapai tujuan-tujuan politik
jangka pendek mereka. Jika demikian, saya khawatir, alih-alih menampilkan
prinsip sipakalebbi, sipakatau dan sipakainge’, mereka justru sedang
mempertontonkan budaya sipakasiri’-siri’ (saling mempermalukan), sipakatau-tau
(saling mengancam dan menakut-nakuti) dan sipakalinge’-linge’ (sama-sama gila)
di hadapan masyarakat mereka? Semoga jawaban untuk ketiga pertanyaan di atas
adalah afirmatif.
Posting Komentar