Menjawab begitu banyaknya pertanyaan dan tanggapan sehubungan dengan status
kewarganegaraan anak yg dihasilkan dari perkawinan campuran, maka dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan
dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Menurut UU yang
baru tentang Kewarganegaraan (UU No. 12 Tahun 2006) Pengaturan Mengenai Anak
Hasil Perkawinan Campuran Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat
asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut
dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan
bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Undang-Undang
ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun
tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada
anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Kewarganegaraan
Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan UU ini anak yang lahir
dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga
negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin
maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
setelah kawin.
Bila dikaji dari
segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi
masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas
nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara
nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain
tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan
status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana
bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.
Berbagai Kritik
terhadap UU Kewarganegaraan yang baru Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya
UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian
sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan
campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).
KESIMPULAN
Posting Komentar