NEOLIBERALISME DAN SIFAT ELUSIF
KEBEBASAN
Kisah
tentang istilah biasanya terjalin kusut dengan salah-kaprah. Istilah
‘demokrasi’ misalnya, menyempit dalam rupa pemilihan umum, atau juga
‘kekuasaan’ menciut ke dalam sosok pemerintah. Tidak seperti otonomi ‘penanda’
dalam strukturalisme bahasa, mungkin begitulah kisah setiap kemurnian semantik
yang telah jatuh ke dalam simpang-siur gejala. Sesudahnya, sejarah pemikiran
lebih sering berisi pertikaian arti dalam hiruk-pikuk peristiwa. Rupanya itu
pula nasib ‘neo-liberalisme’.
Istilah
‘neo-liberalisme’ yang luas digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai
para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis
kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang
ekstrem. Ekonomi-politik
rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang
dimaksud para pejuang itu. Dari sana istilah ‘neo-liberalisme’ menyebar. Ketika
kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk
menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, meskipun
negeri seperti Chile tidak lagi memakai sistem ekonomi pasar bebas se-ekstrem
rezim Pinochet.
Maka
mulailah kisah pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ secara amat longgar seperti
sekarang. Trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan
motor kebijakan ekonomi ‘neo-liberal’ di Amerika Latin waktu itu. Namun, tidak
semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neo-liberal,
seperti yang sering tertulis di banyak spanduk demonstrasi menentang IMF dewasa
ini. Cuma, itu bukan lalu berarti neo-liberalisme identik dengan kebebasan,
hanya karena di situ ada kata ‘liberal’ (liber: bebas; libertas: kebebasan);
dan lalu pengritik neo-liberalisme sama dengan kaum anti-kebebasan.
Kecenderungan seperti itu sering sulit dihindarkan: kita melakukan salah-kaprah
dalam kehebohan, tetapi menemukan kebenaran hanya dalam diam.
Salah-kaprah
yang terlibat dalam pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ tentulah kisah menarik,
namun juga mudah terdengar seperti dongeng. Sedangkan membahas statistik
ekonomi dalam sistem yang berciri neo-liberal pasti penting, tetapi untuk malam
ini akan sangat membosankan. Itulah mengapa saya memilih menghaturkan refleksi
sederhana yang sedikit merenung, dan semoga berguna untuk pencarian
selanjutnya. Pada akhirnya, neo-liberalisme bukan sekedar permainan istilah,
dan bukan pula soal statistik ekonomi, melainkan suatu bangunan ideologi
tentang manusia dan pengaturan masyarakat.
Pada
Mulanya Ordo-Liberal
“Apa
yang ekstrem dari tata ekonomi pasar-bebas seperti di Chile pada masa rezim
Pinochet sehingga disebut ‘neo-liberal’?” Pertanyaan itu membawa kita mundur
sejenak ke masa sekitar 75 tahun lalu. Kisahnya tidak berawal di Chile atau
Amerika Latin, tetapi di Jerman pada dasawarsa 1930-an, ketika istilah
‘neo-liberal’ muncul. Seperti setiap peristiwa sejarah, kisahnya tentu tidak
semiskin ringkasan berikut ini.
Di
awal dasawarsa 1930-an, Jerman mulai diburu hantu Fascisme yang membawa suasana
ganjil campuran antara totalitarianisme dan kolektivisme. Dalam suasana itulah,
sekawanan ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan Universitas Freiburg mulai
mengembangkan suatu gagasan ekonomi-politik liberal yang kemudian disebut ‘Mazhab
Freiburg’. Para anggota mazhab ini berkumpul di sekitar pemikir Walter Eucken
(1891-1950) dan Franz Böhm (1895-1977). Penyebaran gagasan mereka dilakukan
melalui jurnal Ordo (kurang lebih berarti ‘tatanan’), yang diterbitkan
dari kota Düsseldorf. Itulah mengapa gagasan mereka kemudian disebut ‘Mazhab
Ordo-Liberal’. Ordo-Liberal sering kali juga disebut ‘Neo-Liberal’, tetapi
dalam pengertian sangat berbeda dari arti ‘neo-liberal’ dewasa ini. Awalan
‘neo’ (baru) dipakai untuk membedakan diri dari liberalisme abad ke-18 dan
ke-19, dengan memasukkan kritik dari gagasan sosialisme.
Pemikiran
Mazhab Ordo-Liberal menjadi cikal-bakal desain ‘ekonomi pasar-sosial’ (soziale
Marktwirtschaft) yang kemudian melandasi pembangunan ekonomi Jerman Barat
setelah Perang Dunia II. Gagasan Ordo-Liberal dipandu oleh pertanyaan konkret
begini: apabila persoalan kaum liberal di abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana
menciptakan kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang tidak bebas, masalah
kaum liberal di paroh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirikan
tata-negara dalam suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada. Cukup
pasti persoalan ini mencerminkan kegelisahan para pemikir Ordo-Liberal atas kekosongan bangunan
tata-negara di Jerman yang luluh-lantak setelah kekalahan Nazi dan kejatuhan
Hitler.
Singkat
cerita, hasilnya adalah filsafat ‘ekonomi pasar sosial’.
Pertama, di
jantung filsafat Ordo-Liberal adalah gagasan anti-naturalistik tentang ekonomi
pasar. Artinya, ‘pasar’ (market) bukan peristiwa alami seperti musim semi
atau tsunami, tetapi satu dari beragam relasi yang diciptakan manusia. Karena
itu, pasar dapat dibentuk, dihancurkan, dan diubah menurut desain kita. Masalah
sentral bukan apakah ‘pasar’ bebas atau tidak-bebas – pasar yang tidak-bebas
adalah contradictio in terminis –, tetapi bahwa kinerja pasar selalu
butuh Vitalpolitik, yaitu tindakan politik membentuk nilai-nilai moral
dan kultural bagi pengadaan barang/jasa ekonomi, dan sekaligus untuk mencegah
kolonisasi prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural. Tujuan Vitalpolitik
adalah menciptakan sederetan kondisi bagi kinerja pasar secara adil. Namun,
itu juga berarti pemisahan tegas antara ‘ekonomi’ dan ‘politik’ merupakan
ilusi.
Kedua, karena pasar
merupakan salah satu relasi yang diciptakan untuk membantu pengadaan kebutuhan
barang/jasa bagi hidup-bersama, dinamika perubahan sosial tidak dapat
diserahkan kepada kinerja pasar tanpa kerangka tata-sosial. Itulah mengapa
Ordo-Liberal menolak determinisme perubahan menurut dalil ekonomi ala laissez-faire
dan juga Marxisme ortodoks. Bagi Ordo-Liberal, fokus perdebatan tentang
perubahan bukan terletak dalam pertanyaan sejauh mana bidang/relasi
sosial-politik-kultural digerakkan oleh ekonomi pasar (seperti dalam
neo-liberalisme sekarang), tetapi sejauh mana kinerja pasar membantu terjadinya
‘kontrak sosial’. Dalam arti ini, premis Ordo-Liberal tentang manusia
bukanlah homo oeconomicus, tetapi homo socialis.
Ketiga,
berdasarkan premis itu, agenda transformasi ekonomi terletak dalam upaya
mengubah kapitalisme secara terus-menerus menurut visi ‘kontrak sosial’.
Gagasan Ordo-Liberal berjalan dalam tegangan antara individualitas kebebasan
dan sosialitas tatanan. Tugas tata-pemerintahan melalui berbagai
kebijakan adalah menjaga tegangan itu, dan bukan menghapus salah satu kutub
dengan menerapkan komando sentral ataupun menyerahkan pembentukan tatanan
sosial kepada kinerja pasar. Sentralisme ala Soviet bukanlah akibat alami dari
utopia sosialitas tatanan, dan gejala konsentrasi kekuasaan bisnis di tangan perusahaan-perusahaan
raksasa juga bukan nasib alami kinerja pasar. Keduanya adalah produk strategi
ekonomi-politik yang gagal. Pokok-pokok itu mungkin terasa membosankan. Dan
gerutu kita berisi pertanyaan: “Apa kaitan semua itu dengan soal
neo-liberalisme dalam pengertian dewasa ini?” Begini ringkasnya. Sebagaimana
setiap mazhab tidak berisi keseragaman gagasan, begitu pula di dalam jaringan
Ordo-Liberal terdapat beberapa sekte pemikiran. Jaringan Ordo-Liberal dihuni
oleh banyak pemikir yang terutama terkait dengan Mazhab Freiburg (Jerman) dan
Universitas Chicago (Amerika Serikat).Dalam perkembangan selanjutnya, keragaman
pemikiran mereka terbelah ke dalam sekurangnya tiga aliran ekonomi.
Sekte
pertama biasanya disebut kaum ‘liberal sosial’ (social liberals),
berkumpul di sekitar pemikir Karl Schiller.Mereka percaya bahwa ekonomi pasar
harus dijalankan untuk pengadaan berbagai barang/jasa, meskipun tidak semua.
Tetapi mereka juga punya kecurigaan mendalam terhadap kecenderungan perluasan
prinsip pasar ke bidang-bidang lain. Maka mereka menggagas, kompetisi ekonomi
harus dijalankan sejauh mungkin, tetapi bila kompetisi membawa konsentrasi
kekuasaan dan marginalisasi, intervensi harus dilakukan melalui regulasi. Bagi
anggota kelompok ini, sistem ekonomi yang baik adalah ekonomi-pasar yang
dikawal regulasi (regulated market economy).
Sekte
kedua terdiri dari para pemikir inti Ordo-Liberal seperti Eucken dan Böhm.
Mereka menaruh kecurigaan ganda baik terhadap intervensi lewat regulasi, maupun
pada ciri alami kompetisi pasar. Antara pendulum intervensi-regulasi dan
kompetisi-alami, mazhab ini menggagas ekonomi pasar bukan sebagai relasi yang
terpisah dari semesta relasi politik, kultural dan sosial, melainkan “tertanam”
dalam semesta relasi-relasi itu. Kunci pendekatan ekonomi bukan terletak dalam
‘regulasi’, dan juga bukan pada ‘tangan tak kelihatan pasar’, tetapi dalam
kerangka institusional yang membuat relasi-relasi ekonomi, kultural, politik,
hukum serta moral terjalin erat satu sama lain sebagai tatanan sosial. Ekonomi
yang baik adalah ‘ekonomi pasar sosial’ (social market economy).
Sekte
ketiga terdiri dari para pemikir ekonomi Mazhab Austria (seperti Friedrich von
Hayek) dan Mazhab Chicago (seperti Milton Friedman) yang berjaring dengan
Mazhab Freiburg. Inilah mazhab yang kemudian disebut kaum ‘libertarian’. Mereka
mulai dari premis bahwa semua bentuk tatanan yang baik terbentuk secara spontan
dari prinsip kebebasan, dan kebebasan itu hanya terlaksana dalam tatanan yang
terbentuk dari relasi-relasi spontan. Ekonomi pasar-bebas adalah locus dan
model spontanitas serta kebebasan itu, dan semua bentuk ekonomi planning adalah
“jalan menuju perbudakan”. Oleh karena itu, segala batasan politik,
kultural, sosial, dan hukum serta regulasi pemerintah harus se-minimal mungkin.
Andaipun dilakukan, aturan hanya boleh bersifat ‘negatif’. Artinya, “jangan
campurtangan”. Hak atas hidup, misalnya, diartikan sebagai hak untuk tidak
dibunuh, dan bukan hak atas pangan.Sistem ekonomi yang baik adalah ‘ekonomi
pasar bebas’ (free market economy).
Dari
gagasan mazhab libertarian inilah kemudian berkembang arti neo-liberalisme
dalam pengertian seperti sekarang.Penggerak utamanya adalah para ekonom yang
terkait dengan Universitas Chicago setelah Perang Dunia II, seperti Milton
Friedman, Friedrich von Hayek, Gary Becker, George Stigler.Keterkaitan awal
mereka dengan para pemikir Ordo-Liberal – yang juga sering diberi nama
‘Neo-Liberal’ – membuat mereka kemudian disebut ‘kaum neo-liberal mazhab
Chicago’. Syahdan, para mandarin kebijakan ekonomi rezim Augusto Pinochet
adalah sekelompok ekonom Chile murid para libertarian di Universitas Chicago
ini. Itulah yang rupanya membuat para pejuang demokrasi di Amerika Latin lalu
menyebut para “Chicago boys” ini sebagai kaum neo-liberal. Begitulah
metamorfosis istilah dalam kekusutan kisah sejarah.
Penyulut
kontroversi tentulah bukan soal peristilahan, tetapi gagasan mazhab ini yang
kemudian menyusup ke dalam berbagai kebijakan. Dengan itu kita sampai pada inti
dari apa yang dimaksud neo-liberalisme dewasa ini.
Perentangan
Homo Oeconomicus
Neo-liberalisme
pertama-tama bukan urusan ekonomi, tetapi suatu proyek filosofis yang
beraspirasi menjadi teori komprehensif tentang manusia dan tatanan masyarakat. Gagasan
neo-liberalisme kira-kira dapat diringkas begini. Ragam relasi manusia bisa
saja disebut kultural, politik, legal, sosial, psikologis, estetik, spiritual
dan seterusnya. Namun, bila harus dikatakan secara lugas, beragam relasi itu
dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar.
Barangkali
kita segera bertanya: selain terlalu simplistis, bukankah dengan itu
neo-liberalisme menyingkirkan prinsip ‘kebebasan’ yang justru merupakan wasiat
keramat ‘liberalisme’? Tidak! Dengan amat cemburu para pemikir neo-liberal
tetap merawat akar kebebasan. Tetapi soalnya kebebasan bukan perkara metafisik.
Justru karena bukan soal metafisik, urusannya bergeser ke soal menemukan wujud
konkret yang menjelmakan spontanitas dan kesukarelaan yang diemban oleh gagasan
kebebasan. Timbul pertanyaan: “mengapa bukan relasi afeksi atau estetika?” Ya,
itu kandidat yang kuat. Cuma, rupanya para psikolog dan seniman tidak cukup
berambisi mengajukan teori penataan masyarakat se-ambisius para pemikir
libertarian Mazhab Chicago.
Bagi
para ekonom libertarian ini, tak ada avatar spontanitas dan kesukarelaan
yang lebih sempurna daripada relasi dalam pasar-bebas. Friedrich Hayek dan
Milton Friedman paling tegas mengajukan pokok ini. “Kapitalisme”, tulis
Friedman, “adalah prasyarat kebebasan politik”. Justru karena itu, perhatian
utama ditujukan pada corak spontanitas yang berlangsung di pasar bebas. Corak
spontanitas dan kesukarelaan dalam transaksi ekonomi pasar adalah model
kebebasan sejati. Manusia tentu seperti taman keragaman: ia homo culturalis,
homo politicus, homo legalis, homo spiritualis, dan
seterusnya. Akan tetapi, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah homo
oeconomicus. Dalam bahasa Gary Becker, salah seorang ekonom Mazhab
Chicago, “ekonomi memberikan semesta pendekatan paling komprehensif untuk
memahami semua perilaku manusia....”
Apa
yang kemudian berkembang adalah determinisme ontologis tentang kodrat manusia.
Seperti setiap determinisme ontologis, ia terjalin satu dengan determinisme
epistemologis (cara-berpikir), yang pada gilirannya memperanakkan determinisme
etis. Jadi, pada mulanya adalah agenda untuk menemukan wujud sempurna relasi
spontanitas dan kesukarelaan dari kebebasan. Tatkala avatar tertinggi
spontanitas dan kesukarelaan itu ditetapkan bersemayam dalam model kebebasan
transaksi ekonomi pasar, berkembang pula patokan tentang siapa manusia,
bagaimana ia harus menjadi, bagaimana ia harus berpikir serta dipikirkan, dan
tentu saja bagaimana ia harus bertindak serta berelasi. Di
ujung hari, neo-liberalisme berisi proyek normatif tentang bagaimana manusia
dan tata masyarakat harus menjadi. Dan homo oeconomicus adalah model
manusia sejati.
Genius
neo-liberalisme bukan terletak dalam gagasan ekonomi, yang sesungguhnya hanya
radikalisasi prinsip pasar menuju konsekuensi terjauhnya. Apa yang menggetarkan
adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek normatif mengorganisir tata
masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Jika proyek liberalisme ekonomi
bergerak dengan prinsip bahwa alokasi banyak barang/jasa harus ditentukan oleh
kinerja pasar, neo-liberalisme melakukan radikalisasi dengan menggagas “semua
relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar” dan menuntut “prinsip pasar
diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/jasa”. Jika dalam liberalisme
ekonomi abad ke-19, prinsip pasar diterapkan dalam pengadaan barang seperti,
misalnya, pakaian dan perhiasan, dalam proyek neo-liberalisme prinsip itu
diterapkan juga untuk pengadaan pendidikan dan kesehatan. Bagaimana
itu ditempuh?
Pertama,
dengan proyek normatif memandang semua relasi manusia sebagai relasi pasar,
neo-liberalisme mengajukan homo oeconomicus sebagai teori kodrat manusia
yang diterapkan dalam bidang politik, hukum, sosiologi, psikologi, sejarah,
kriminologi, dan seluruh ilmu-ilmu manusia serta humaniora. Karena
penjelmaan paling sempurna homo oeconomicus adalah pelaku bisnis, model
cara-berpikir dan cara-bertindak adalah sosok pengusaha. Pengusaha
adalah model manusia sejati, dan karena itu juga punya status istimewa dalam
proyek neo-liberal. Itulah yang menjelaskan mengapa para eksekutif perusahaan,
“yang pada masa lalu dipandang dengan sebelah mata, tiba-tiba kini laksana para
pangeran yang gagah menunggang kuda putih”.
Kedua,
karena model manusia sejati adalah pengusaha, setiap orang perlu melihat dan
mengubah dirinya sesuai idiom bisnis dan pasar. Artinya, apa saja yang ada
padanya – dari uang sampai tanah, dan dari kecantikan sampai ijazah – adalah
modal (capital) yang mesti diubah menjadi laba, sama seperti
cara-berpikir dan bertindak sang pengusaha kayu yang mengubah hijau hutan
menjadi kayu gelondongan dan laba. Ringkasnya, “seluruh gugus relasi kehidupan
adalah perusahaan”. Dengan itu berkembang “iklim kultural baru, yaitu
tata-kelola identitas diri dan relasi-relasi yang didasarkan pada kapitalisasi
kehidupan”.
Ekonom Ben Fine yang melacak problematik ini sampai pada
kesimpulan bahwa istilah ‘modal kultural’, ‘modal sosial’ dan ‘modal spiritual’
yang luas dipakai dewasa ini tidak diambil dari pengertian yang pernah diajukan
Pierre Bourdieu, pemikir Perancis, tetapi dari proyek ekspansi idiom
neo-liberal.
Ketiga,
karena setiap orang adalah pengusaha swasta, apabila ia jatuh menganggur atau
miskin, itu disebabkan kesalahannya sendiri. Kemiskinan dan pengangguran bukan
masalah sosial, melainkan kegagalan mengubah aset-diri menjadi laba. Solusinya
bukan social welfare, tetapi individual self-care. Karena
soalnya individual self-care, program jaminan sosial kehilangan alasan
adanya. Meskipun neo-liberalisme tidak identik dengan privatisasi, kita segera
mengerti apa yang terjadi di balik gelombang privatisasi bidang-bidang seperti
pendidikan dan kesehatan. Tidak ada kesehatan, tetapi bisnis rumah-sakit; tak
ada pendidikan, tapi bisnis sekolah. Bukan pasien, melainkan konsumen
pengobatan; bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya tak ada lagi
perbedaan antara ‘ekonomi pasar’ (market economy) dan ‘masyarakat pasar’
(market society), lantaran seluruh gugus relasi yang membentuk
‘masyarakat’ telah diubah menjadi relasi pasar.
Keempat,
dari situ hanya butuh langkah kecil untuk melihat implikasinya bagi
tata-negara. Sesudah homo oeconomicus menjadi model perilaku manusia
(dan logika pasar menjadi prinsip koordinasi masyarakat), ‘pemerintah’ (government)
menjadi pemerintah ekonomi (economic government). Menyebut
“negara sebagai perusahaan adalah idiom khas neo-liberal, dan bukan liberal”. Para
pejabat pemerintah adalah “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, atau
sumberdaya apa saja yang bisa ditawarkan kepada investor. Policy disebut
sukses bila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam pertanian maupun mall,
sekolah maupun rumah-sakit. Pada akhirnya prinsip pasar tampil sebagai hakim
yang mengadili apakah kebijakan disebut sukses atau gagal; bukan hanya dalam
produksi sepeda motor, tetapi juga dalam pengadaan pendidikan dan kesehatan. Trend
menilai sukses-gagalnya semua kebijakan pemerintah menurut kesesuaiannya
dengan prinsip pasar ini juga bukan kecenderungan liberal, melainkan khas
neo-liberal.
Kelima,
ada trend menarik lain. Perentangan prinsip pasar tidak hanya dilakukan
ke bidang-bidang yang secara tradisional bukan wilayah ekonomi, tetapi juga
dijalankan dengan menciptakan cabang serta ranting transaksi baru dari
transaksi-transaksi yang sudah ada. Dalam transaksi pasar antara si A dan B,
misalnya, diciptakan sekian banyak sub-transaksi turunannya. Dengan
itu terjadilah ledakan transaksi pasar, ledakan proses kapitalisasi, dan laba
diciptakan dari relasi-relasi yang pada awalnya tidak dianggap menghasilkan
laba. Maka, tulis David Harvey, “neoliberalisme juga berarti finansialisasi
segalanya”.
Cukup pasti, ledakan dan kecepatan pembengkakan volume transaksi
pasar ini sangat dibantu oleh revolusi teknologi komunikasi. Dengan itu terjadi
kontrol makin besar oleh sektor ekonomi finansial atas sektor-sektor ekonomi
lain, bahkan atas aparatus negara serta arus kehidupan sehari-hari.
Itulah
yang menjelaskan ledakan jumlah brokers dan makelar dalam kondisi
neo-liberal. Itu pula yang menjelaskan terjadinya ledakan transaksi finansial
maya dalam rupa hedge funds, derivatives, forward, futures, dan
semacamnya.
Dari proses suatu transaksi pasar diciptakan beberapa
sub-transaksi, kemudian dari beberapa sub-transaksi pasar itu diciptakan lagi
berbagai sub-sub-transaksi lain. Begitu seterusnya, sampai transaksi awal antara
A dan B tenggelam dalam sekian banyak sub-transaksi dan sub-sub-sub transaksi
antara. Melalui proses ini muncul apa yang disebut ‘ekonomi maya’, dengan
buihnya yang sering samasekali tak punya kaitan apapun dengan perkembangan
‘ekonomi sektor riil’. Contohnya, jual-beli surat jaminan dan
spekulasi nilai tukar uang (ekonomi maya) menjadi jauh lebih berkembang
daripada produksi sepatu dan tambak udang (ekonomi riil). Ratapan atas gejala
de-industrialisasi, kemacetan dan kehancuran ekonomi sektor riil bukannya tidak
terkait dengan gejala ini.
Ringkasnya,
dalam proyek neo-liberalisme, “tidaklah cukup prinsip pasar diterapkan pada
barang/jasa ekonomi; ia harus diterapkan di bidang lain. Tidaklah cukup ada
pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar”. Berbeda
dengan peristiwa alam seperti tsunami atau gempa bumi, apa yang menggelisahkan
tentang proyek neo-liberalisme adalah bahwa ia bergerak menurut dalil self-fulfilling
prophecy. Artinya, kemungkinan dan ketidakmungkinan terjadinya sangat
tergantung pada kepercayaan kita. Semakin kita percaya kemungkinan proyek
neo-liberalisme, semakin ia akan terjadi; dan sebaliknya.
Tentu,
pokok-pokok yang saya haturkan di atas hanya sebuah pembacaan atas tanda-tanda
zaman. Mungkin berguna, mungkin tidak berguna. Apa yang saya mengerti hanya
bahwa kita yang menghuni kondisi sejarah seperti ini dibebani oleh ambivalensi,
atau kemenduaan arti. Dan saya tidak menganggap ambivalensi itu sebagai “kutuk”
melainkan “berkah”, karena lalu saya tidak perlu menelan apa yang terjadi
secara mentah-mentah.
Neoliberalisme terlalu Kerdil untuk Kebebasan
Dengan
proyek normatif neo-liberal, tiba-tiba berkembang semacam revolusi yang
digerakkan oleh kompetisi. Gerbang penciptaan laba dibuka bagi siapa saja yang
berpikir dan bertindak sebagai homo oeconomicus, karena jenis relasi
yang dapat diubah menjadi transaksi pasar ada di mana-mana. Tidak ada sultan,
tidak ada orang pinggiran, sebab pintu dibuka secara sama untuk semua orang.
Seperti dalam setiap kompetisi, kita bisa ikut, minggir, atau kena libas.
Kebebasan adalah kesamaan kesempatan.
Pada
titik ini mungkin kita mulai bertanya-tanya. Bila pilihannya hanya ikut,
minggir atau kena libas, bukankah cukup pasti proyek normatif itu merupakan
proyek tertutup? – juga seandainya berangkat dari prinsip kebebasan. Atau,
mungkinkah ‘kebebasan’ yang sedang coba diemban proyek neo-liberal telah
mengalami penciutan? Dan sebagaimana setiap penciutan, ia terlalu kerdil
merawat keragaman yang selalu elusif pada manusia.
Tidak
perlu ilmu khusus untuk mengenali apa yang ganjil dalam gagasan neo-liberal
tentang kebebasan. Sesudah homo oeconomicus dipatok sebagai teori kodrat
dan perilaku manusia, keragaman perilaku dan dimensi manusia dibentuk dengan
normatif homo oeconomicus pula.Maka relasi-relasi dengan orang lain
(yang juga dilihat sebagai homo oeconomicus) hanya mungkin dimengerti
dengan idiom oeconomicus pula. Dan idiom oeconomicus adalah
prinsip pasar. Karena apa yang disebut ‘masyarakat’ terbentuk dari
berlaksa-laksa relasi antara orang-orang itu, padahal orang-orang itu dilihat
sebagai para ‘makhluk ekonomi’, dalil pasar pula yang harus digunakan sebagai
prinsip koordinasi masyarakat. Bukan visi politik atau sosiologi yang memandu
penataan masyarakat, tetapi ekonomi; tentu saja ‘ekonomi’ menurut visi proyek
neo-liberal.
Dalam
prinsip pasar, kebebasan adalah kebebasan memilih menurut selera pribadi, atau
‘preferensi’ dalam terminologi ekonomi: eligo ergo sum (saya memilih
maka saya ada). Andai kita berhenti di renungan metafisik kebebasan
preferensi, semuanya tentu terdengar indah. Akan tetapi, homo oeconomicus tidak
pernah tahan dengan kegelapan metafisika, juga seandainya tentang kebebasan.
Maka terjadi siasat begini. Akses pada ‘kebebasan preferensi’ tentu bukan
kebebasan preferensi sendiri, karena hal itu berarti self-referential.
Lalu apa? Jawabannya sederhana: daya beli (purchasing power). Maka
mulailah sihir-metafisika jatuh ke dalam materialitas-gejala. Bagaimana mungkin
punya kebebasan preferensi jika tidak mempunyai daya beli? Dan bagaimana bisa punya
daya beli bila tidak punya pundi-pundi?
Jadi,
bila dilacak mundur, kebebasan ditempuh lewat rute-rute berikut ini: kebebasan
mensyaratkan kebebasan preferensi, kebebasan preferensi mensyaratkan daya beli,
daya beli mensyaratkan pemilikan pundi-pundi. Lalu apa jalan menuju pemilikan
pundi-pundi? Dalam proyek neo-liberal, pemilikan uang hanya dapat terjadi bila
kita (persis seperti sang pengusaha) mempekerjakan apa saja dalam diri kita
sebagai ‘modal’ (capital) yang secara abadi harus dikembang-biakkan
menjadi ‘laba’ (profit). Itulah mengapa pilar utama proyek neo-liberal
adalah kapitalisasi semua relasi. Itu pula yang menjelaskan ekspansi proses
komersialisasi ke semakin banyak aspek kehidupan – dari warna rambut sampai
pengetahuan, dari biji padi sampai jabatan. Apakah itu “baik” atau “tidak-baik”
adalah pertanyaan evaluasi etis. Apa yang pasti bisa dikatakan hanya bahwa
setiap gejala tertangkap dalam kemenduaan arti, dan karena itu juga selalu
dibebani kontradiksi. Proyek neo-liberalisme bekerja laksana cemeti yang secara
permanen mencambuki kita untuk melakukan renovasi kemampuan diri, juga bila
renovasi itu dilakukan untuk agenda transaksi pasar. Itu adalah berita baik,
sebab para pemalas akan dihukum. Dalam gagasan neo-liberal, tak ada tindakan yang
bersifat for its own’s sake. Hidup adalah pacuan, dan karena itu
terberkatilah si cepat!
Tetapi
pada saat yang sama, sebagaimana dalam setiap pacuan, si lambat senantiasa
merangkak-rangkak di urutan belakang. Dan dalam proyek neo-liberal,
ketertinggalan itu bukan karena kesalahan pacuan, melainkan karena kesalahan si
lambat sendiri yang gagal merenovasi diri menjadi si cepat. Istilah “si cepat”
bisa dimengerti secara harafiah, tetapi juga dapat dipahami sebagai nama lain
bagi si muda, si tampan, si cekatan, si kaya, dan seterusnya. Sebaliknya, “si
lambat” juga dapat dipahami sebagai sebutan bagi si tua, si cacat, si buruk
rupa, si gagap, si tidak-trampil, si miskin, dan seterusnya. Entah yang mana,
dalam proyek neo-liberal soalnya bukan ketuaan atau kemiskinan itu sendiri,
tetapi ketuaan dan kemiskinan telah mengutuk-nya ke dalam daya-beli rendah yang
abadi. Ia harus minggir dari transaksi, atau me-renovasi diri, sebab dalam
transaksi pasar berlaku prinsip “pembeli tertinggi adalah pemenang”. Kalau
sebagian besar penduduk adalah “si lambat”, gambar yang tampil tentu saja
proyek neo-liberal sebagai oligarki ekonomi.
Sulitnya,
di telinga orang yang menganggap oligarki ekonomi sebagai konsekuensi netral
dalil fisika-sosial, ratapan atas “kutukan abadi pada si lambat” ini segera
terdengar sebagai serapah anti-pasar, anti-uang, anti-kemajuan, atau
anti-kebebasan. Dan tendensi itu sangat kuat, sebab untuk banyak orang yang
memeluk proyek ini, neo-liberalisme identik dengan ‘kebebasan’. Seperti akan
jelas di bawah nanti, soalnya adalah bahwa kita sering memandang ‘kebebasan’
sebagai konsep homogen: ‘kebebasan beragama’ dilihat punya isi sama dengan
‘kebebasan modal’, ‘kebebasan berpikir’ dilihat sama-sebangun dengan ‘kebebasan
ekonomi’. Kecenderungan ini yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa pejuang
kebebasan berpikir dalam agama dengan mudah direkrut oleh think-tank ekonomi
neo-liberal. Mereka mengira sedang memperjuangan ‘kebebasan’ yang sama, hanya
karena mereka sama-sama memakai kata ‘kebebasan’. Tentang proyek neo-liberal,
mungkin ada gunanya ditegaskan bahwa soalnya bukan ‘kebebasan’, tetapi aksesnya
yang secara mutlak tergantung pada ‘daya beli’. Soalnya bukan pula terletak
pada kinerja ‘daya beli’ dan ‘uang’ dalam ekonomi, tapi pada seleksi penikmatan
kebebasan yang didasarkan pada tiket ‘daya-beli’. Begitu pula masalahnya bukan
‘laba’ dan ‘pasar’, melainkan aplikasi prinsip pasar pada seluruh aspek
kehidupan. Seperti ditunjuk Susan George, “bisnis dan pasar punya wilayah
kinerjanya sendiri, tetapi wilayah itu tidak dapat memangsa seluruh ranah
eksistensi manusia”. Dengan totalisasi itu, prinsip pasar dalam proyek
neo-liberalisme malah kehilangan genius-nya. Gagasan ‘ekonomi pasar sosial’
Ordo-Liberal (yang membatasi kinerja prinsip pasar pada komoditas ekonomi)
justru merawat genius pasar.
Kalau
soalnya bukan pasar, bukan uang, bukan ekonomi, dan juga bukan kebebasan, lalu
apa masalahnya? Jika saya harus menjawab, jawaban saya begini: neo-liberalisme
terlalu kerdil untuk kebebasan, atau kebebasan terlalu besar untuk
neo-liberalisme. Lalu apa yang tersisa dari kaitan ‘kebebasan’ dan
‘neo-liberalisme’? Pertanyaan ini membawa kita ke persoalan yang lebih
tersembunyi.
Kebebasan
terlalu Besar untuk Neoliberalisme
Di
jantung ‘kebebasan’ modern adalah gagasan tidak-adanya pembatasan pada
seseorang.
Mengapa tiadanya pembatasan sentral bagi kebebasan? Karena
kebebasan menyangkut tindakan, dan kebebasan tindakan dibatasi oleh rintangan
yang timbul dari tindakan orang lain, juga seandainya tidak disengaja. Tetapi,
mengapa pembatasan yang timbul dari tindakan orang lain meniadakan/mengurangi
kebebasan? Karena ada-tidaknya pembatasan menentukan ada-tidaknya alternatif
tindakan. Jadi, pada akhirnya kebebasan menyangkut ‘tindakan’ (action)
dan ‘pilihan’ (choice). Kebebasan tergantung bukan hanya dari
tidak-adanya pembatasan, tetapi juga dari tersedianya sarana untuk melakukan
pilihan tindakan. Namun itu juga berarti, tanpa adanya sarana, orang tak bebas
bertindak, meskipun ia tidak dibatasi oleh siapapun. Dalam arti ini, makanan
dan pakaian pastilah prasyarat paling mendasar untuk kebebasan
bertindak.Kebebasan berbicara, misalnya, tak hanya mensyaratkan tidak-adanya
batasan (misalnya sensor), tapi juga mensyaratkan adanya sarana (misalnya,
dalam seminggu terakhir ia makan sehingga dapat berbicara).
Segera
muncul soal besar. Jika intinya memang “kebebasan bertindak dan kebebasan
memilih yang dianggap bernilai”, padahal apa yang bernilai belum ditetapkan,
kebebasan lalu ibarat jalan kosong dan rata (flat), lantaran semua jenis
tindakan serta pilihan sejajar dan sama. Kebebasan yang homogen (homogenous)
itu bagaikan rumah indah tanpa penghuni.Maka, kebebasan sebagai
sihir-metafisika tidak-bisa-tidak menjelma ke dataran materialitas-gejala.
Penjelmaan itu penuh brutalitas.
Ambillah
‘kebebasan berbicara’ sebagai contoh. Kalau ‘kebebasan berbicara’ begitu
penting, dari mana pentingnya kebebasan berbicara? Dari pentingnya kebebasan,
ataukah dari pentingnya berbicara? Pengejaran seperti ini mungkin terdengar
mengada-ada, tetapi bukannya tidak diperlukan. Jika kebebasan memang menyangkut
tindakan dan pilihan, pentingnya kebebasan berbicara tentu diturunkan dari
pentingnya ‘berbicara’, dan bukan dari pentingnya ‘kebebasan’. Karena tindakan
berbicara (dan memilih berbicara perihal X atau Y) amat penting, kita
membutuhkan kebebasan. ‘Kebebasan bekerja’ bukan datang dari pentingnya
‘kebebasan’, tetapi dari pentingnya ‘bekerja’. Begitu pula ‘kekebasan
berkumpul’, ‘kebebasan beragama’, dan seterusnya. ‘Kebebasan modal’ (free
movement of capital) bukan datang dari ‘kebebasan’, tetapi dari pentingnya
‘gerak modal’.
Dari
litani itu tampak, selama belum terjadi penetapan bahwa suatu tindakan/pilihan
dianggap lebih penting dibanding tindakan/pilihan lainnya, ‘kebebasan’ tetap
berupa metafisika yang rata (flat). Akan tetapi, menjelmakan
sihir-metafisik kebebasan ke dalam materialitas-gejala juga berisiko membuat konsep
‘kebebasan’ kehilangan isi yang mau diemban, yaitu ‘kesamaan’ (equality).
Maka kita terdampar di belantara dilema.
Dalam
ungkapan yang kasat indra, soalnya bisa dicontohkan begini. Bagaimana bila
terjadi konflik antara, misalnya, ‘kebebasan gerak modal’ dan ‘kebebasan untuk
bekerja’? Yang pertama melibatkan kebebasan para investor untuk datang dan
pergi (entry-exit), sedangkan yang kedua menyangkut hak para buruh atas
kerja-upahan. Seperti luas kita saksikan, konflik itu bukan lagi gejala
kekecualian. Solusi atas tegangan itu telah menyita banyak perdebatan, dan
untuk meringkasnya bahkan butuh traktat tersendiri.
Apa
yang relevan bagi kita adalah, proses publik menetapkan tindakan/pilihan mana
yang lebih penting dibanding tindakan/pilihan lain itu telah menjadi penentu
jalannya kisah ‘kebebasan’. Apa yang menggetarkan dari proyek neo-liberalisme
bukan bahwa ia mengemban ‘kebebasan’ atau tidak-mengemban ‘kebebasan’, tapi
bahwa neo-liberalisme memakai cara yang menakutkan dalam menetapkan secara
publik bagaimana kebebasan tindakan/pilihan yang satu lebih penting
dibandingkan kebebasan tindakan/pilihan lain. “Dalam konflik antara hak-hak
yang sama atas kebebasan”, tulis Harvey, “kekuasaanlah yang menentukan”. Soal
ini membawa kita kembali ke jantung gagasan neo-liberalisme.
Sebagaimana
telah disebut, di jantung neo-liberalisme adalah gagasan bahwa suatu tindakan
disebut lebih bernilai dibanding tindakan lain apabila tindakan itu
menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Itu ungkapan lain dari
pernyataan bahwa jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding
kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan
daya-beli lebih tinggi dalam kinerja pasar. Dari situ lahir normatif begini:
pelaku yang mempunyai daya-beli lebih tinggi ditetapkan lebih bernilai
dibanding pelaku yang berdaya-beli lebih rendah. Karena dalam ekonomi pasar
berlaku “the highest bidder, the winner”, semakin tinggi daya-beli,
semakin tinggi pula nilainya. Itulah mengapa, meskipun dalilnya setiap orang
adalah “pengusaha swasta”, proyek neo-liberal memberikan perlakuan amat
istimewa kepada perusahaan-perusahaan raksasa, dan bukan usaha mikro atau
kecil. Itu pula mengapa konflik ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan untuk bekerja’
berakhir dengan prioritas ‘kebebasan modal’ – investor ditetapkan lebih
bernilai daripada buruh. Apa yang ditempuh proyek neo-liberal adalah “menyempitkan
atau bahkan meremuk konsep kebebasan dengan menetapkannya sebagai kebebasan
bisnis”.
Dan
karena proyek normatif neo-liberal berisi perentangan aplikasi prinsip pasar ke
semua relasi kehidupan, pola itu juga berlaku apabila terjadi konflik, misalnya,
antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan berkumpul’, ‘kebebasan pers’,
‘kebebasan ekspresi’, ‘kebebasan beragama’, dan seterusnya. Tak ada
liberalisme yang tidak mengemban kebebasan. Tetapi dalam proyek neo-liberal,
kesamaan yang diemban kebebasan itu terperangkap dalam persyaratannya sendiri,
yaitu ‘daya-beli’. Bukan karena ada pasar, bukan juga karena ada uang atau
daya-beli – uang, laba, pasar, dan daya-beli sudah ada sejak dahulu kala –,
tapi karena proyek totalisasi prinsip pasar ke semua sudut kehidupan telah
membawa konsekuensi bahwa akses pada kebebasan ditentukan oleh daya-beli.
‘Kesamaan’ dalam metafisika kebebasan telah menjelma ke dalam sejarah gejala,
namun cara ia menjelma ditetapkan menurut ketidaksamaan. Seperti yang terjadi
dalam setiap proyek, neo-liberalisme juga penuh dengan korupsi, kontradiksi,
penggelapan dan penyimpangan dari rancangannya sendiri. Proyek neo-liberal
mencanangkan kesamaan, tetapi segera membatalkannya dengan ketidaksamaan
daya-beli. Proyek neo-liberal menetapkan semua orang sebagai “pengusaha swasta”
yang bila jatuh harus menanggung risikonya sendiri, tetapi langsung
mengharuskan kita semua memikul beban ketika para bankir besar dihajar krisis
finansial, seperti yang jelas-jelas terjadi dalam skandal BLBI (Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia).
Tentu,
terjadinya penyimpangan dan kontradiksi itu samasekali tidak berarti bahwa
‘kebebasan’ adalah cita-cita yang tak perlu dijelmakan. Kisah tentang
‘kebebasan’ adalah kisah menghidupi keluh-kesah sejarah. Apa yang ideal bukan
lagi menjadi obyek buruan kebijaksanaan, melainkan gema yang memburu
jerih-payah kehendak. Seperti setiap jerih-payah, ia berisi cacat dan kefanaan.
Dan yang pasti hanya satu: beberapa jenis cacat dan kontradiksi lebih mampu
kita tanggung daripada cacat dan kontradiksi lainnya.
Epilog
Sesungguhnya
semua kekusutan itu bukan perkara baru. Dalam sungai sejarah, amat sering klaim
atas penemuan kebebasan telah membawa kita ke dalam perangkap baru. Refleksi
sederhana yang bersifat membongkar ini mungkin terdengar asing bagi mereka yang
telah menghuni proyek neo-liberal. Itu gejala biasa, sebab orang tidak sadar
akan ideologinya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya. Sedangkan
bagi mereka yang tidak sepakat terhadap proyek neo-liberal, alasannya bermacam.
Beberapa segera mengenali betapa naif premis neo-liberalisme. Untuk
beberapa lain, arah kritik tertuju pada proyek neo-liberal yang meremuk watak
sosial hidup-bersama. Sedangkan untuk para aktivis, kritik terhadap proyek
neo-liberal mungkin berupa ratapan betapa makin sulit melakukan aksi bersama.
Dan untuk para budayawan?
Saya
tidak fasih dengan lorong-lorong problematik kebudayaan. Akan tetapi, juga
dalam kegagapan, saya menyaksikan gejala menggelisahkan yang dibawa proyek
neo-liberal bagi cuaca kultural kita. Ada suatu masa, dan itu belum lama,
ketika refleksi budaya sibuk menafsir ‘penanda’ (signifier). Kekusutan
yang muncul dari proyek neo-liberalisme tentu juga berkat kinerja ‘penanda’.
Cuma, pesan refleksi sederhana ini bukan terletak dalam urusan penanda, tetapi
dalam kaitannya dengan keluh-kesah materialitas gejala yang pernah diabaikan
oleh strukturalisme bahasa. Dalam pusaran proyek neo-liberalisme,
refleksi kebudayaan yang bersikeras tetap sibuk dengan urusan otonomi ‘penanda’
mungkin akan melahirkan fatamorgana. Ketika sampai pada pokok genting ini, saya
ingat ironi besar yang diajukan Terry Eagleton, seorang pemikir kebudayaan:
“Kaum konservatif dan
liberal melihat kebudayaan sebagai kebalikan kekuasaan. Kultur diperlakukan
sebagai bilik yang masih tersisa, di mana kita mengira masih dapat bernafas
tanpa polusi kekuasaan. Ketika satu-persatu aspek hidup berguguran ke dalam
dalil utilitas [ekonomi], budaya mengingatkan kita ada hal-hal bernilai yang
tidak dapat dikenai label harga. Talkala rasio instrumental dengan brutal
meremuk hidup manusia, kultur merayakan apa yang ada untuk dirinya sendiri,
tanpa perlu menaruh tujuan pasti selain keterpesonaan diri.... Masa itu telah
berlalu”.
Apa
yang tersembunyi dalam peringatan itu juga harapan sederhana agar refleksi
kebudayaan kembali bergelut dengan kaitan antara keluh-kesah pada dataran
materialitas gejala dan cuaca kultural kita dewasa ini. Refleksi
kecil yang saya haturkan ini tidak lebih dari catatan kaki, dan itupun miskin
dari rasa percaya diri.
Kebebasan
adalah cita-cita agung yang merawat sifat keramatnya dengan menjadi elusif,
atau selalu lolos dari genggaman. Untuk menjadi bagian hidup, ia
tidak-bisa-tidak menjelma ke dalam materialitas gejala. Akan tetapi, bukankah
lalu penjelmaan senantiasa melahirkan cacat? Benar! Semoga refleksi sederhana
ini sedikit menyingkap betapa neo-liberalisme terlalu kerdil untuk menjadi avatar
kebebasan; atau kebebasan terlalu besar untuk neo-liberalisme. Namun dalam
kefanaan itu, ada jenis cacat yang lebih tertanggung daripada cacat-cacat lain.
Dan cacat kebebasan yang disebabkan oleh proyek neo-liberal, seperti juga yang
muncul dari proyek fundamentalisme agama, bukanlah jenis cacat yang pantas kita
tanggung.
Akhirnya,
dalam kisah jerih-payah ini, apa yang bisa kita bagikan untuk merawat
kemungkinan hidup-bersama dari kolonisasi proyek neo-liberal barangkali juga
dapat menjadi jalan menyelamatkan sifat elusif kebebasan dari perangkapnya
sendiri
Posting Komentar