EPISTEMOLOGI
CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR
Jarum
Sejarah Pengetahuan
Pada
masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan
belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua
suku umpamanya, bisa merangkap hakim, panglima perang, penghulu yang
menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status
tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi,
sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi
jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli..
Jadi
kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu
dulu. Semua
menyatu
dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak
yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang satu
dengan ujud yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental
dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan
abad XVII.
Dengan
berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan.
Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang
mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah
struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak
berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan
itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut
jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda
dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga
ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.
Difrensiasi
dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan
moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian
yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling masing-masing displin keilmuan
itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti
pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin banyak dan
makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam
sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing displin ilmu.
Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin keilmuan
dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang
berdifusi.
Pendekatan
interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan
otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan
routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma
ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi\ logika,
matematika, statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma
“konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian
bersama antar displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan
merupakan fusi antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan anarki
keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu,
dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling
menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung
turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya pengetahuanitu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan
merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yangmuncul dalam kehidupan.
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan.
Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara
maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan oleh
suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada
pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan. Sekiranya
kita bertanya “ apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu
tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis
ilmu membatasi diri kepada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang
bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa
menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya
memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi
komputer maka komputer ilmu tidak diprogram untuk itu. Memang pada hakekatnya
manusia mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekedar jawaban yang
bersifat sembarangan saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun
pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut
sebagai epistemology, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.
Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan
yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan dalam khasanah filsafat
ada beberapa teori kebenaran?
Setiap
jenis pengetahuan mempunyai cirri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait
dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu
dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal
ini harus dikaitkan dengan ontology dan aksiologi ilmu. Ilmu mempelajari alam
sebagaimana adanya dan terbatas pada pengalaman kita saja. Pengetahuan dikumpulkan
oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari
dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan
kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu, dapat diibaratkan sebagai alat bagi
manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan
tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Oleh sebab itulah, sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba
memanipulasi dan menguasai alam.
Berdasarkan
landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita
mengembangkan landasan epistemologi yang cocok? Persoalan utama yang dihadapi
tiap epistemologi pengetahuan pada dasrnya adalah bagaimana mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologis dan aksiologi masing-masing.
Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni
bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai
dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol
gejala alam. Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka kita harus
mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi. Untuk bisa meramalkan dan mengontrol
sesuatu maka kita harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu.
Dengan demikian maka penelitian ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan
penjelasan mengenai beberapa gejala alam. Penjelasan yang dituju penelitian
ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai berbagai faktor yang terikat dalam
suatau konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau
mekanisme terjadinya gejala itu. Seni, pada sisi lain pengetahuan, mencoba
mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba
mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan
realitas menjadi beberapa variable yang terikat dalam sebuah hubungan yang
bersifat rasional, maka seni, mencoba mengungkapkan obyek penelahaan itu
sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan bagi mereka yang meresapinya, lewat
berbagai kemampuan manusia untuk menangkapnya seperti emosi, pikiran dan panca
indra. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang
bersifat umum dan impersonal. Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah
mulai dilakukan oleh manusia sejak dahulu kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang
kitapun tak kurang takjubnya memperhatikan berbagai bentuk kekuatan alam yang
ada disekeliling mereka dan mereka mencoba melihat gejala-gejala alam itu dari
sudut pandang mitos dan kepercayaan. Namun tahap selanjutnya kemudian ditandai
oleh usaha manusia untuk mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu
mitos, mereka menatap kehidupan ini tidak lagi dari balik harumnya dupa dan
asap kemenyan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang
mempunyai kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan
bercocok tanam. Lalu berkembanglah pengetahuan yang berakar pada pengalaman
berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode
mencobacoba (trial and error).
Perkembangan
ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan” yang mempunyai
kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping “seni halus”
yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Peradaban Mesir kuno pada kurang
lebih 3000 tahun SM telah mengembangkan irigasi dan dapat meramalkan timbulnya
gerhana. Demikian pula peradaban-peradaban lainnya seperti Cina dan India
terkenal dengan perkembangan seni terapan yang tinggi. Seni terpakai ini pada
hakekatnya mempunyai dua ciri yakni, yang pertama, bersifat deskriptif dan fenomologis
dan, kedua, ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses
pengkajian yang menitik beratkan pada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat
empiris tanpa kecendrungan untuk pengembangan postulat yang bersifat teoritis
–atomistis. Jadi dalam seni terapan kita tidak mengenal konsep seperti
gravitasi atau kemagnetan yang bersifat teoritis. Sifat terbatas dari seni
terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum
seperti gravitasi Newton atau teori medan elektromagnetik Maxwell, sebab tujuan
anlisisnya bersifat praktis. Setelah secara empiris diketahui bahwa daun pepaya
bisa mengempukkan daging, atau daun kumis kucing bisa menyembuhkan kencing
batu, maka pengetahuanpun berhenti sampai disitu. Seni terapan tidak
mengembangkan teori kimia atau fisiologi yang merangkum kedua gejala itu.
Disinilah
kita menemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam pengembangan ilmu
mengapa ada peradaban yang mampu mengembangkan ilmu secara cepat? Mengapa ada
peradaban yang secara histories mempunyai tinggat teknologi yang sangat tinggi
namun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan? Jawab dari pertanyaan itu
mungkin dapat dicari dari pola perkembangan selanjutnya dari pola perkembangan pengetahuan
yang merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu perkembangan seni
terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan
terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada
peradaban lain pengembangannya bersifat kualitatif, artinya dikembangkan
konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis. Sebagai ilustrasi
katakanlah umpamanya dua tipe peradaban tersebut sedang mencari obat kanker. Peradaban
yang berorientasi pada seni terapan akan melakukan penyelidikan secara mencoba-coba
dari bermacam-macam dedaunan atau jenis obat lainnya tanpa ada konsep yang
jelas mengenai kegiatannya. Sebaliknya sebuah peradaban ilmiah akan memusatkan
perhatiannya pada penemuan konsep yang akan mengarahkan kegiatan selanjutnya.
Mungkin
inilah yang menyebabkan mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam
seni terapan yang lebih tinggi tidak mampu mengembangkan diri dalam bidang
keilmuan, soalnya salah satu jembatan yang menghubungkan seni terapan dengan
ilmu dan teknologi adalah pengembangan konsep\ teoritis yang bersifat mendasar
yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah yang
bersifat integral. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional umpamanya yang
kemanjurannya memang terbukti tidak menjurus ke arah berkembangnya farmakologi
sebab tidak terdapat usaha yang lebih jauh mengajukan penjelasan teoritis yang
asasi mengenai proses yang terjadi. Dengan demikian maka pengetahuan yang satu
terpisah dari pengetahuan yang lain tanpa diikat oleh satu konsep yang mampu
menjelaskan secara keseluruhan. Jadi kalau obat-obatan tradisional berusaha
menyembuhkan kanker dengan berbagai campuran ramuan secara mencoba-coba, maka
farmakologi modern berusaha menembus kemacetan dalam pengobatan penyakit ini
lewat pengembangan konsep dasar dalam perkembangan sel, terutama dalam bidang
biologi molecular ilmu memang kurang berkembang dalam peradaban Timur karena
aspek kulturalnya tidak terlalu
menganggap
penting cara berpikir ilmiah. Bagi masyarakat timur maka filsafat yang paling
penting adalah berpikir etis yang akan menghasilkan kearifan (wisdom).
1. Akal
sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk
menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai
dengan akal sehat sebab tak mempunyai landasan permukaan lain untuk berpijak.
2. Tiap
peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal
sehat. Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan.
3. Sedangkan
karakteristik yang diberikan oleh Titus sebagai berikut:
a. karena
landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka cendung untuk bersifat
kebiasaan dan pengulangan.
b. Karena
landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cendrung bersifat kabur
dan samarsamar
c. Karena
kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih
lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
d. Berdasarkan
akal sehat, adalah amat masuk akal setelah beberapa kali mengalami terbit dan
terbenamnya matahari untuk menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi
bumi. Itulah sebabnya banyak pengetahuan mula-mula sukar diterima oleh
masyarakat sebab bertentangan dengan kal sehat, seperti penemuan bahwa bukan
matahari yang mengelilingi bumi dan bukan sebaliknya.
Perkembangan
selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan
dasardasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper maka tahap ini adalah
penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya
tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenakan hidupnya satu doktrin
yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba
menemukan kebenaran secara analitis yang bersifat kritis.5 Jadi pada dasarnya
rasionalisme memang bersifat majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang
dibangun secara deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu.
Dalam
menafsirkan suatu obyek tertentu maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran,
teori dan mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukarlah bagi kita
untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang
benar sebab semuanya dibangun diatas argumentasi yang bersifat koheren. Mungkin
saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang benar alas an yang mempunyai
kerangka berpikir yang paling meyakinkan. Namun hal itupun tidak bisa
memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak terlepas
dari unsur subyektif. Disamping itu rasionalisme dengan pemikiran deduktifnya sering
menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari alur-alur logikanya namun
bertentangan dengan keadaan sebenarnya.
Kelemahan
dalam berpikir rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya empirisme
yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan
pengalaman. Dipelopori oleh filsuffilsuf Inggris maka berkembanglah cara
berpikir yang menjauhi spekulasi teoritis dan metafisis. Metafisika menurut
Hume adalah ‘khayal dan dibuat-buat’ yang selayaknya diumpamakan ‘lidah api
yang menjilat-jilat’. Namun cara berpikir inipun tidak luput dari kelemahan
atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor dalam hubungan
kausalitas? Berdasarkan metode induktif yang didukung oleh teknik statistika
yang paling rumit dengan mudah umpamanya bahwa,” kambing kencing di IKIP
Rawamangun berkorelasi dengan
banjirnya
kampus Universitas Jayabaya.” Namun apakah artinya semua ini? Penjelasan apakah
yang bias diajukan oleh data empiris yang ternyata secara induktif menunjukkan
korelasi?
Ilmu
mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang
berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan
yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri
dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar
pada kulit luarnya saja tanpa berani mengemukakan postulat-postulat yang
bersumber penafsiran metafisis tidak akan memungkinkan kita sampai pada teori
fisika nuklir. Paling-paling mendapatkan pengetahuan yang tidak berbeda jauh
dari akal sehat yang lebih maju. Ilmu mempunyai dua buah peranan, ujar Betrand Russel,
pada satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat
yang terdidik. Lalu bagaimana caranya agar kita mengembangkan ilmu yang
mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan yang
sebenarnya? Berkembanglah dalam kaitan pemikiran ini metode eksperimen yang merupakan
jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan
pembuktian secara empiris.
Metode
eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam,
ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII
Masehi. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan
hampir padam dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam
kebudayaan Islam. “ Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah,” simpul H.G.
Wells, “maka orang Islam adalah bapak Angkatnya.” Dalam perjalanan sejarah maka
lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang
ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.8 Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli
al-kimia yang memungkinkan pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat
ajaib untuk awet muda” dan ‘ rumus membuat emas dari logam biasa” namun secara
lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah. Metode eksperimen ini
diperkenalkan didunia barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan kemudian
dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561-1626). Sebagai
penulis yang ulung dan fungsinya sebagai Lord Verulam maka Francis Bacon
berhasil meyakinkan masyarakat ilmuwan
untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Singkatnya maka
secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode eksperimen
dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh
Francis Bacon.
Pengembangan
metode eksperimen ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia
sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dan dengan demikian pula
berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir induktif dan
deduktif. Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai
paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan
perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Dirintis oleh Copernicus
(1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan Newton 91642-1727)
ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan seterusnya tinggal
landas. Whitehead menyebutkan periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi
perkembangan ilmu di mana Helmholzt, Pasteur, Darwin dan Clerk-Maxwell berhasil
mengembangkan penemuan ilmiahnya.9 Gejala ini sebenarnya tidak sukar untuk dijelaskan
sebab metode ilmiah memanfaatkan kelebihan-kelebihan metode berpikir yang ada
dan mencoba untuk memperkecil kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar
untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua
masalah dapat dipecahkan secara keilmuwan. Itulah sebabnya maka kitamasih memerlukan berbagai pengetahuan
lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab bagaimanapun majunya ilmu secara
hakiki dia adalah terbatas dan tidak lengkap. Ketika teleskop dan mikroskop
memulai, bertanya Victor Hugo, dimanakah diantara keduanya yang lebih mampu
menyingkap panorama?
Metode
Ilmiah
Prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu Pengetahuan dapat disebut
pengetauan : memakai syarat-syarat tertentu.Syarat tertentu utama:metode ilmiah.Metode
adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis
Metodologi
adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peratiran-peraturan dalam metode
tersebut.
Metodolgi
ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam
ilmiah, secara filsafat,
Epistimologi
terbagi empat yaitu:
1.
Apakah sumber-sumber pengetahuan
2.
Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan
3.
Apakah manusia fdimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan
4.
Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia
Bepikir
adalah kegitan mental yang menghasilkan pengetahuan : MI= ekspresi, mengenai
cara belajar bpikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuanyang dihasilkan,
diharapkan mempunyai karakteristikkarakteristik tertentu yang diminta oleh
pengetahuan ilmiah yaitu:
sifat
rasional, teruji= MI: menggabungkan cara berpikir deduksi dan induksi
Berpikir
deduktif, sifat rasional kepada pengetahuanilmiah dan bersifat konsisten,
sistematis (tahaptahap). Sifat rasional dan koheren adalah ilmu mencoba
memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam jalur
penekanan. Sifat rasional, tidak final, karena bersifat pluralistic oleh sebab
itu cara berpikir ilmiah digunakan pula cara berpikir induktif yang berdasarkan
criteria kebenaran korespondensi. Teori korespondensi meyebutkan bahwa suatu
pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam
pernyataan itu berkorespondensi (bersesuaian) dengan objek tektual yang dituju.
Suatu pernyatan benar bila terdapat buktibukti empiris yang mendukung cotoh
salju, Jakarta . Proses kegiatan ilmiah manusia mengamati sesuatu, ada
perhatian terhadap objek tertentu perhtian: suatu masalah atau kesukaran yang
dirsakan bila kita menemukam sesuatu dalam penglaman kita yang menimbulkan
pertanyaan, ini dimulai dalam dunia empiris: terjadilah eksistensi empiris.
Dilihat dari perkembangan kebudayaan dapat menghadapi masalah maka hal ini
dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu.
Bedasrkan
sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen membagi perkembangan
kebudayaan menjadi tiga tahap: mistis, ontologis, horisional.
1. Mistis,
sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatn gaib
disekitarnya
2. Ontologis,
sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan gaib
dan bersikap mengambil jarak terhadap objek disekitar kehidupan dan mulai
menelaah objek tersebut
3. Fungsional,
sikap manusia yang bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib
dan mempunyai npengetahuan berdasarkan penelahan objek tersebut, namun lebih
dari itu dia mengfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.
Ilmu mulai berkembang dari tahap ontologis ini antara lain: terlepas dari
kekuatan gaib,menguasai gejala empiris, memberi batas yang jelas terhadap objek
kehidupan tertentu (terhadap ontologis).
Terhadap
ontologis (manusia) – batas eksistensi masalah –mengenal ujud masalah –menelaah
–mencari pemecahan masalah. Hanya membatasi pada masalah yang didasarkan atas
empiris, masalah nyata maka jawaban ada didunia kejahatan, ilmu diawali dengan
fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun teori yang menjembataninya, teori
penjelasan mengenai gejala yang terdapat didunia fisik tersebut .
Teori
ilmu adalah penjelasan rasonal yang berkesesuaian dengan objek yang
diperlukannya, dan harus didukung oleh bukti empiris. Metode ilmiah: empirisme,
rasionalisme. Teori ilmu ada 2 syarat yaitu: konsisten dengan teori sebelumnya,
cocok dengan fakta-fakta empiris oleh sebab itu, teori ilmu yang belum teruji kebenarannya
secara empiris dari semua penjelasan rasional statusnya hanya bersifat
sementara atau penjelasan sementara (hipotesis). Hipotesis adalah dugaan atau
jawaban sementara terhadap permasalahan yang kita hadapi. Fungsinya adalah:
penunjuk jalan untuk mendapatkan jawaban, membantu menyalurkan
penyelidikan.
Hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis pengetahuan
ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, pengetahuan ilmiah adalah perkembangan
setahap demi setahap (jumlh penyusunan hipotesis). Dari hipotesis: menguji
hipotesis (mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata), proses pengajian
ini (pengumpulan fakta yang relefen dengan hipotesis yang diajukan, dalam agama
proses pengujian meliputi: penalaran, persaan, intuisi, imajinasi, dan
pengalaman. Hal tersebut dirumuskan dengan langkah Logico Hipotheticoverifikasi.
Langkah
logico hypothetico venifikasi antara lain:
1. Perumusan
masalah: pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas, batas-batasnya serta
dapat didetifikasi factor-faktor yang terlihat didalamnya.
2. Penyusunan
kerangka berpikir: argumentasi yang menjelaskan ubungan yang mungkin antara
berbagai factor yang saling mengait dan membentuk konsisten permasalahan.
Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah
yang tahan terisi kebenaranya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang
relevan dengan permasalahan.
3. Perumusan
hipotesis: jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan,
yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pegujian
hipotesis: pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan
untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis
tersebut atau tidak.
5. Penarikan
kesimpulan
Penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan diterima atau
tidak: diterima, bagian penelitian ilmiah karena mempunyai kerangka penjelasan
yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji
kebenarannya.
Posting Komentar