Headlines News :
Home » » EPISTEMOLOGI

EPISTEMOLOGI

Written By Unknown on Jumat, 13 Juli 2012 | 12.19


EPISTEMOLOGI
CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR

Jarum Sejarah Pengetahuan
Pada masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli..

Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua
menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang satu dengan ujud yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad XVII.

Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.

Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling masing-masing displin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin banyak dan makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing displin ilmu. Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang berdifusi.

Pendekatan interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi\ logika, matematika, statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antar displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuanitu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yangmuncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya “ apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri kepada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu tidak diprogram untuk itu. Memang pada hakekatnya manusia mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarangan saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut sebagai epistemology, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan dalam khasanah filsafat ada beberapa teori kebenaran?

Setiap jenis pengetahuan mempunyai cirri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontology dan aksiologi ilmu. Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada pengalaman kita saja. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu, dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Oleh sebab itulah, sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.

Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang cocok? Persoalan utama yang dihadapi tiap epistemologi pengetahuan pada dasrnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologis dan aksiologi masing-masing. Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi. Untuk bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu maka kita harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Dengan demikian maka penelitian ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai beberapa gejala alam. Penjelasan yang dituju penelitian ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai berbagai faktor yang terikat dalam suatau konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanisme terjadinya gejala itu. Seni, pada sisi lain pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variable yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni, mencoba mengungkapkan obyek penelahaan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan bagi mereka yang meresapinya, lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapnya seperti emosi, pikiran dan panca indra. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah mulai dilakukan oleh manusia sejak dahulu kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang kitapun tak kurang takjubnya memperhatikan berbagai bentuk kekuatan alam yang ada disekeliling mereka dan mereka mencoba melihat gejala-gejala alam itu dari sudut pandang mitos dan kepercayaan. Namun tahap selanjutnya kemudian ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap kehidupan ini tidak lagi dari balik harumnya dupa dan asap kemenyan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan bercocok tanam. Lalu berkembanglah pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencobacoba (trial and error).

Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan” yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping “seni halus” yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Peradaban Mesir kuno pada kurang lebih 3000 tahun SM telah mengembangkan irigasi dan dapat meramalkan timbulnya gerhana. Demikian pula peradaban-peradaban lainnya seperti Cina dan India terkenal dengan perkembangan seni terapan yang tinggi. Seni terpakai ini pada hakekatnya mempunyai dua ciri yakni, yang pertama, bersifat deskriptif dan fenomologis dan, kedua, ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang menitik beratkan pada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecendrungan untuk pengembangan postulat yang bersifat teoritis –atomistis. Jadi dalam seni terapan kita tidak mengenal konsep seperti gravitasi atau kemagnetan yang bersifat teoritis. Sifat terbatas dari seni terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum seperti gravitasi Newton atau teori medan elektromagnetik Maxwell, sebab tujuan anlisisnya bersifat praktis. Setelah secara empiris diketahui bahwa daun pepaya bisa mengempukkan daging, atau daun kumis kucing bisa menyembuhkan kencing batu, maka pengetahuanpun berhenti sampai disitu. Seni terapan tidak mengembangkan teori kimia atau fisiologi yang merangkum kedua gejala itu.

Disinilah kita menemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam pengembangan ilmu mengapa ada peradaban yang mampu mengembangkan ilmu secara cepat? Mengapa ada peradaban yang secara histories mempunyai tinggat teknologi yang sangat tinggi namun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan? Jawab dari pertanyaan itu mungkin dapat dicari dari pola perkembangan selanjutnya dari pola perkembangan pengetahuan yang merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain pengembangannya bersifat kualitatif, artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis. Sebagai ilustrasi katakanlah umpamanya dua tipe peradaban tersebut sedang mencari obat kanker. Peradaban yang berorientasi pada seni terapan akan melakukan penyelidikan secara mencoba-coba dari bermacam-macam dedaunan atau jenis obat lainnya tanpa ada konsep yang jelas mengenai kegiatannya. Sebaliknya sebuah peradaban ilmiah akan memusatkan perhatiannya pada penemuan konsep yang akan mengarahkan kegiatan selanjutnya.

Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang lebih tinggi tidak mampu mengembangkan diri dalam bidang keilmuan, soalnya salah satu jembatan yang menghubungkan seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah pengembangan konsep\ teoritis yang bersifat mendasar yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah yang bersifat integral. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional umpamanya yang kemanjurannya memang terbukti tidak menjurus ke arah berkembangnya farmakologi sebab tidak terdapat usaha yang lebih jauh mengajukan penjelasan teoritis yang asasi mengenai proses yang terjadi. Dengan demikian maka pengetahuan yang satu terpisah dari pengetahuan yang lain tanpa diikat oleh satu konsep yang mampu menjelaskan secara keseluruhan. Jadi kalau obat-obatan tradisional berusaha menyembuhkan kanker dengan berbagai campuran ramuan secara mencoba-coba, maka farmakologi modern berusaha menembus kemacetan dalam pengobatan penyakit ini lewat pengembangan konsep dasar dalam perkembangan sel, terutama dalam bidang biologi molecular ilmu memang kurang berkembang dalam peradaban Timur karena aspek kulturalnya tidak terlalu
menganggap penting cara berpikir ilmiah. Bagi masyarakat timur maka filsafat yang paling penting adalah berpikir etis yang akan menghasilkan kearifan (wisdom).
1.      Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai landasan permukaan lain untuk berpijak.
2.      Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.
3.      Sedangkan karakteristik yang diberikan oleh Titus sebagai berikut:
a.       karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka cendung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan.
b.      Karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cendrung bersifat kabur dan samarsamar
c.       Karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
d.      Berdasarkan akal sehat, adalah amat masuk akal setelah beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Itulah sebabnya banyak pengetahuan mula-mula sukar diterima oleh masyarakat sebab bertentangan dengan kal sehat, seperti penemuan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi dan bukan sebaliknya.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasardasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenakan hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analitis yang bersifat kritis.5 Jadi pada dasarnya rasionalisme memang bersifat majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu.

Dalam menafsirkan suatu obyek tertentu maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori dan mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukarlah bagi kita untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang benar sebab semuanya dibangun diatas argumentasi yang bersifat koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang benar alas an yang mempunyai kerangka berpikir yang paling meyakinkan. Namun hal itupun tidak bisa memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak terlepas dari unsur subyektif. Disamping itu rasionalisme dengan pemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari alur-alur logikanya namun bertentangan dengan keadaan sebenarnya.

Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh filsuffilsuf Inggris maka berkembanglah cara berpikir yang menjauhi spekulasi teoritis dan metafisis. Metafisika menurut Hume adalah ‘khayal dan dibuat-buat’ yang selayaknya diumpamakan ‘lidah api yang menjilat-jilat’. Namun cara berpikir inipun tidak luput dari kelemahan atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor dalam hubungan kausalitas? Berdasarkan metode induktif yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah umpamanya bahwa,” kambing kencing di IKIP Rawamangun berkorelasi dengan
banjirnya kampus Universitas Jayabaya.” Namun apakah artinya semua ini? Penjelasan apakah yang bias diajukan oleh data empiris yang ternyata secara induktif menunjukkan korelasi?

Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar pada kulit luarnya saja tanpa berani mengemukakan postulat-postulat yang bersumber penafsiran metafisis tidak akan memungkinkan kita sampai pada teori fisika nuklir. Paling-paling mendapatkan pengetahuan yang tidak berbeda jauh dari akal sehat yang lebih maju. Ilmu mempunyai dua buah peranan, ujar Betrand Russel, pada satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik. Lalu bagaimana caranya agar kita mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan yang sebenarnya? Berkembanglah dalam kaitan pemikiran ini metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian secara empiris.

Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “ Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah,” simpul H.G. Wells, “maka orang Islam adalah bapak Angkatnya.” Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.8 Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli al-kimia yang memungkinkan pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat ajaib untuk awet muda” dan ‘ rumus membuat emas dari logam biasa” namun secara lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah. Metode eksperimen ini diperkenalkan didunia barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan kemudian dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561-1626). Sebagai penulis yang ulung dan fungsinya sebagai Lord Verulam maka Francis Bacon berhasil meyakinkan  masyarakat ilmuwan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Singkatnya maka secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francis Bacon.

Pengembangan metode eksperimen ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dan dengan demikian pula berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir induktif dan deduktif. Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Dirintis oleh Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan Newton 91642-1727) ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan seterusnya tinggal landas. Whitehead menyebutkan periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana Helmholzt, Pasteur, Darwin dan Clerk-Maxwell berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.9 Gejala ini sebenarnya tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah memanfaatkan kelebihan-kelebihan metode berpikir yang ada dan mencoba untuk memperkecil kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuwan. Itulah sebabnya  maka kitamasih memerlukan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab bagaimanapun majunya ilmu secara hakiki dia adalah terbatas dan tidak lengkap. Ketika teleskop dan mikroskop memulai, bertanya Victor Hugo, dimanakah diantara keduanya yang lebih mampu menyingkap panorama?

Metode Ilmiah
Prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu Pengetahuan dapat disebut pengetauan : memakai syarat-syarat tertentu.Syarat tertentu utama:metode ilmiah.Metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis
Metodologi adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peratiran-peraturan dalam metode tersebut.

Metodolgi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam ilmiah, secara filsafat,
Epistimologi terbagi empat yaitu:
1. Apakah sumber-sumber pengetahuan
2. Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan
3. Apakah manusia fdimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan
4. Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia

Bepikir adalah kegitan mental yang menghasilkan pengetahuan : MI= ekspresi, mengenai cara belajar bpikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuanyang dihasilkan, diharapkan mempunyai karakteristikkarakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu:
sifat rasional, teruji= MI: menggabungkan cara berpikir deduksi dan induksi
Berpikir deduktif, sifat rasional kepada pengetahuanilmiah dan bersifat konsisten, sistematis (tahaptahap). Sifat rasional dan koheren adalah ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam jalur penekanan. Sifat rasional, tidak final, karena bersifat pluralistic oleh sebab itu cara berpikir ilmiah digunakan pula cara berpikir induktif yang berdasarkan criteria kebenaran korespondensi. Teori korespondensi meyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu berkorespondensi (bersesuaian) dengan objek tektual yang dituju. Suatu pernyatan benar bila terdapat buktibukti empiris yang mendukung cotoh salju, Jakarta . Proses kegiatan ilmiah manusia mengamati sesuatu, ada perhatian terhadap objek tertentu perhtian: suatu masalah atau kesukaran yang dirsakan bila kita menemukam sesuatu dalam penglaman kita yang menimbulkan pertanyaan, ini dimulai dalam dunia empiris: terjadilah eksistensi empiris. Dilihat dari perkembangan kebudayaan dapat menghadapi masalah maka hal ini dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu.

Bedasrkan sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap: mistis, ontologis, horisional.
1.      Mistis, sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatn gaib disekitarnya
2.      Ontologis, sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak terhadap objek disekitar kehidupan dan mulai menelaah objek tersebut
3.      Fungsional, sikap manusia yang bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai npengetahuan berdasarkan penelahan objek tersebut, namun lebih dari itu dia mengfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya. Ilmu mulai berkembang dari tahap ontologis ini antara lain: terlepas dari kekuatan gaib,menguasai gejala empiris, memberi batas yang jelas terhadap objek kehidupan tertentu (terhadap ontologis).

Terhadap ontologis (manusia) – batas eksistensi masalah –mengenal ujud masalah –menelaah –mencari pemecahan masalah. Hanya membatasi pada masalah yang didasarkan atas empiris, masalah nyata maka jawaban ada didunia kejahatan, ilmu diawali dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun teori yang menjembataninya, teori penjelasan mengenai gejala yang terdapat didunia fisik tersebut .

Teori ilmu adalah penjelasan rasonal yang berkesesuaian dengan objek yang diperlukannya, dan harus didukung oleh bukti empiris. Metode ilmiah: empirisme, rasionalisme. Teori ilmu ada 2 syarat yaitu: konsisten dengan teori sebelumnya, cocok dengan fakta-fakta empiris oleh sebab itu, teori ilmu yang belum teruji kebenarannya secara empiris dari semua penjelasan rasional statusnya hanya bersifat sementara atau penjelasan sementara (hipotesis). Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang kita hadapi. Fungsinya adalah: penunjuk jalan untuk mendapatkan jawaban, membantu menyalurkan
penyelidikan. Hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, pengetahuan ilmiah adalah perkembangan setahap demi setahap (jumlh penyusunan hipotesis). Dari hipotesis: menguji hipotesis (mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata), proses pengajian ini (pengumpulan fakta yang relefen dengan hipotesis yang diajukan, dalam agama proses pengujian meliputi: penalaran, persaan, intuisi, imajinasi, dan pengalaman. Hal tersebut dirumuskan dengan langkah Logico Hipotheticoverifikasi.

Langkah logico hypothetico venifikasi antara lain:
1.      Perumusan masalah: pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas, batas-batasnya serta dapat didetifikasi factor-faktor yang terlihat didalamnya.
2.      Penyusunan kerangka berpikir: argumentasi yang menjelaskan ubungan yang mungkin antara berbagai factor yang saling mengait dan membentuk konsisten permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang tahan terisi kebenaranya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3.      Perumusan hipotesis: jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan, yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4.      Pegujian hipotesis: pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5.      Penarikan kesimpulan
Penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan diterima atau tidak: diterima, bagian penelitian ilmiah karena mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.



Share this post :

Posting Komentar

 
Support : twitter@wajoterkini | facebook WAJOTERKINI.com | PinBB: 2A9F133B | Google@wajoterkini
Copyright © 2011. Kawali News - All Rights Reserved
Template Created by Published by Bakri Grafika
Proudly powered by wajoterkini