Ungkapan syeikh Mahmud Syaltut
berikut ini memberikan pelajaran penting pada kita, khususnya dalam relasi
antaragama, bahwa pluralisme adalah suatu kemestian. Betapa pun, pemahaman
Syaltut yang demikian memiliki dasar dan landasan kuat dari apa yang ia ketahui
dari agamanya.
Sosoknya sebagai tokoh dan ulama
Islam moderat yang tersohor dalam percaturan dunia Islam, merupakan
kredibilitas intelektualitasnya. Pemahaman dan pemikirannya tak lepas dari
lingkungan yang membesarkannya.
Dilahirkan pada tahun 1893 di
Desa Munyah, Bani Mansur Provinsi Buhairoh, Mesir, sejak kecil Syaltut
memperlihatkan kesungguhan dan keuletan dalam ber-tafaquh fid diin (belajar
Islam).
Keluarganya yang haus ilmu
pengetahuan dan taat beragama, serta hormat pada ulama, berperan besar dalam
membentuk kepribadiannya.
Pendidikan Syaltut dimulai di
kampung halamannya dengan menghafal Alquran pada seorang ulama setempat. Baru
pada tahun 1906, ketika usianya menginjak 13 tahun, ia mulai pendidikan
formalnya dengan masuk Ma’had Al Iskandariah.
Studinya ini dirampungkan
setelah ia mendapat Syahadah ‘Alamiyah (setingkat ijazah S-1) pada tahun 1918.
Pada 1919, Syaltut mengajar di almamaternya. Bersamaan itu pula terjadi gerakan
revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui
ketajaman pena dan kepiawaian lisannya.
Dari almamaternya Syaltut lalu
pindah ke Al Azhar. Selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di
dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada
sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pangawas umum kantor
lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syeikh Azhar, sampai
akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syeikh Azhar (pimpinan
tertinggi Al-Azhar).
Syeikh Mahmud Syaltut merupakan
sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu
pengetahuan, kemasyarakatan dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan
ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih
besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat
dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional dan
pemikiran yang bijak.
Hal ini dibuktikan ketika pada
tahun 1937, Syaltut diutus Majelis Tertinggi Al Azhar untuk mengikuti muktamar
tentang Alqanun al Dauli al Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di
Lahay, Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya,
tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan
zaman. Sontak, pandangannya ini mendapat sambutan peserta.
Sepanjang hayatnya, Syaltut
senantiasa mengarahkan hidupnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan syiar
Islam. Darinya terpancar sosok seorang sufi yang saleh, dan cerdik yang bijak.
Ia bagaikan angin topan yang tak pernah berhenti memperjuangkan kebenaran
sampai dirasakan nilai-nilai keadilan oleh semua manusia.
Sebagai seorang faqih, semangat
berijtihad dan jihad selalu menyatu dalam dirinya. Dalam mengistinbatkan sebuah
hukum, ia selalu mengondisikan dengan perkembangan yang terjadi, dan mengambill
serta memilih pendapat yang dianggap mempunyai nilai relevansi dengan masalah
yang ada. Karena itu apa yang dilontarkannya tidak terbatas pada satu madzhab
saja, tetapi fatwa yang dikeluarkannya senantiasa sejalan dengan nilai-nilai
syariah Islam yang fleksibel dan universal.
Pemikiran dan karyanya
Dalam percaturan intelektual,
Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendekiawan yang memiliki tipologi seorang
mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel. Itu bisa
dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antaragama, hukum Islam,
pluralisme, dan ragam aliran pemikiran dalam Islam.
Dalam masalah kebebasan beragama
misalnya, Syaltut melihat bahwa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam
Islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya.
Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin
dekat dengan sang Khalik. Manusia diciptakan Tuhan bebas untuk melakukan apa
yang diingininya.
Dalam mengkaji suatu masalah, ia
selalu menggunakan pendekatan naql dan aql. Hal demikian lalu ia konvergensikan
dengan penajaman pandangannya, dan menimbang apa yang dikemukakan oleh
ulama-ulama sebelumnya untuk kemudian ia pertimbangkan menjadi suatu keputusan
hukum. Konsistensi dalam berpendapat selalu dipegang erat. Karena itu, tak
jarang Syaltut berbeda pendapat dengan ulama lain.
Fatwanya yang dianggap paling
kontroversial adalah tentang halalnya menaruh harta di bank dan
diperbolehkannya pembatasan keturunan (KB). Setidaknya, hal itu dapat ditemui
dalam kitab “Al Fatawa”.
Dalam upaya kontekstualisasi
Islam, Syaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam.
Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam
sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya
akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah dan akidah
yang karena keduanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup.
Untuk itulah, tegasnya, ajaran
Islam harus selalu dikontekstualkan dengan pemahaman-pemahaman yang
tercerahkan. “Islam memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk
menerjemahkannya bukan dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai
hidup. Islam memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya,” ujarnya dalam Islam Aqidah wa Syariah.
Dalam kaitan pemikiran
keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam adalah keimanan, baik
iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan diciptakan oleh sang
Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian keimanan manusia
dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhannya yang satu dan Muhammad sebagai
utusanNya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran manusia untuk
memahami Islam lebih dalam dan luas.
Untuk mencari kebenaran Tuhan,
menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa ada sesuatu yang harus
diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan
memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh kebenaran itu
manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional.
Syaltut menegaskan, walaupun
banyak terjadi perbedaan pendapat dalam memahami akidah, namun ada tiga hal
yang harus dibatasi dalam upaya menyikapi perbedaan itu. Pertama, bahwa dalam
memahami akidah dan proses pencarian kebenaran Tuhan itu, kita harus memakai
dalil yang qath’i.
Kedua, pemahaman akidah yang
berangkat dari dalil yang tidak qath’i pada akhirnya menimbulkan
perbedaan-perbedaan pendapat, tidaklah dapat dikatakan sebagai konklusi dari
akidah yang benar, dan pendapat satu kelompok tertentu bukanlah merupakan
pendapat yang paling benar dengan menafikan kebenaran kelompok lain.
Ketiga, apa yang terdapat dalam
buku-buku tauhid tidaklah dapat disebut bahwa masalah akidah yang diwajibkan
oleh Tuhan kepada kita untuk mengetahuinya telah terangkum dalam kitab
tersebut. Kitab-kitab itu hanya merupakan karya-karya ilmiah yang mungkin bisa
berbeda dengan apa yang terdapat dalam nash-nash syar’i, dan karena itu,
merupakan lapangan ijtihad para ulama.
Dalam kaitan ini, lanjut
Syaltut, “syariah dan akidah merupakan satu sistem yang tidak dapat
dipisahkan”. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk menjalankan
syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang
berakidah. Karena itu manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan,
atau manusia yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak
dianggap seorang Muslim, juga tidak dihukumi Islam.
Berkaitan dengan perbedaan
pendapat, Syaltut menilai, hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan
pendapat, jelasnya, disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang
mujtahid dalam memahami nash-nash syar’i, juga cara pandang yang berbeda dalam
melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda.
Perbedaan-perbedaan yang muncul
dan akhirnya menjadi sekte-sekte ataupun aliran-aliran, menurutnya merupakan
proses menyejarah. Hal demikian pun terjadi pada zaman Nabi dan para sahabat.
Namun perbedaan itu pada hakikatnya memiliki sasaran yang sama, yakni upaya
pribumisasi nilai Islam.
Selain itu, karena antara satu
madzhab dengan madzhab lainnya dalam memahami nash-nash syar’i, khususnya
kalangan Sunni dan Syiah berbeda pandangan, Syaltut melontarkan gagasan jalan
tengah yang dikenal sebagai “Taqrib al Madzahib”, (rekonsiliasi antar-madzhab).
Artinya, kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan
tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir
fanatisme madzhab yang selama ini membekas dalam perilaku keagamaan.
Gagasan ini bukan berarti kita
harus menghilangkan dan menghapuskan pluralisme madzhab yang ada, atau
menyatukan antara satu madzhab dengan madzhab lainnya, tetapi diarahkan untuk
mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah dan membersihkannya dari
unsur-unsur fanatisme aliran, sehingga umat Islam bisa menyamakan barisannya,
dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar tanpa melihat madzhab yang
diyakininya.
Gagasannya ini kemudian ditindak-lanjuti
pihak Al Azhar dan otoritas keagamaan di Iran, dengan membentuk lembaga
‘Rekonsiliasi Antar-Madzhab’. Hingga kini, lembaga itu masih eksis mengemban
misinya. Pada tahun 2000 lalu, dalam rangka peringatan 50 tahun berdirinya
lembaga tersebut, diselenggarakan konferensi selama tiga hari di Teheran, Iran
tentang perdamaian dan rekonsiliasi antarmadzhab.
Bagaimanapun, syeikh Mahmud
Syaltut, dengan gagasan-gagasannya telah mengajarkan kita bagaimana memahami
Islam secara kaffah dan diamalkan dengan mudah, bukan berangkat dari pemaksaan,
tetapi berangkat dari semangat kemanusiaan, ketuhanan, dan semangat ketaatan
pengabdian manusia sebagai khalifah Tuhan.
Sikap keberagamaan manusia,
baginya harus dimanifestasikan dan terpolakan dalam bentuk yang dinamis,
fleksibel dan dewasa, sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan sholih
likulli zamanin wa makanin benar-benar mewarnai dalam semua tatanan kehidupan
manusia.
Pengabdian panjang itu berakhir
pada 1963, ketika sang Khalik memanggilnya untuk selamanya. Di antara karya
monumentalnya adalah, Islam Aqidah wa Syariah; Tafsir Alquranul Karim, dan
Fatawa Al Muashirah.
Posting Komentar