SEJARAH DAN SUMBER FILSAFAT
ILMU
Filsafat
dan ilmu yang dikenal didunia barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno.
Pada zaman itu filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak
memisahkannya sebagai dua hal yang berlainan. Keduanya termasuk ke dalam
pengertian episteme. Kata philisophia merupakan suatu padanan kata dari episteme.
Menurut
konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu
kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang
tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni
pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran
Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang disebutnya:
1.
Praktike (pengetahuan praktis)
2.
Poietike (pengetahuan produktif)
3.
Theoreitike (pengetahuan teoritis)
Theoritike
atau pengetahuan teoritis oleh Aristoteles dibedakan pula menjadi
tiga kelompok dengan sebutan:
1.
Mathematike (pengetahuan matematika)
2.
Physike (pengetahuan fisika)
3.
Prote philosophia (filsafat Pertama)
Filsafat
pertama adalah pengetahuan yang menelaah peradaban yang abadi, tidak berubah,
dan terpisah dari materi. Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu tentang
asas-asas pertama atau yang dikenal sebagai metafisika. Matematika, fisika, dan
metafisika telah cukup berkembang pada masa hidup Aristoteles.
Sekitar
dua ratus tahun sebelumnya telah lahir pemikir yang mempelajari bidang-bidang
tersebut. Seorang pemikir pertama yang dikenal sebagai Bapak Filsafat yaitu
Thales. Sebagian sarjana kemudian mengakuinya pula sebagai ilmuawan pertama di
dunia. Bangsa Yunani menyebutkan bahwa dia adalah salah seorang dari tujuh
orang arif
Yunani.
Thales memperkembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan asal mula,
sifat dasar, dan struktur komposisi dari alam semesta. Menurutnya semua berasal
dari air sebagai dasar materi kosmis. Sebagai ilmuawan ia mempelajari
magnetisme dan listrik yang merupakan pokok soal fisika. Ia juga berusaha mengembangkan
astronomi dan matematika dengan antara lain mengemukakan pendapat bahwa bulan
bersinar karena memantulkan cahaya matahari, menghitung terjadinya gerhana
matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri. Salah satu yang dibuktikannya
ialah dalil bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki adalah sama
besarnya. Dengan demikian, ia merupakan ahli matematika Yunani yang pertama dan
oleh penulis yang sekarang dinyatakan sebagai Bapak dari penalaran deduktif. Selanjutnya
muncullah Pythagoras. Pemikir dan tokoh matematik ini mengemukakan sebuah
ajaran metafisika bahwa bilangan-bilangan merupakan intisari semua benda serta
dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalilnya berbunyi,”bilangan memerintah
jagad raya ini” Menurut Pythagoras, kearifan yang sesungguhnya itu hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Oleh karena itu, ia tidak mau disebut sebagai
orang arif sebagaimana halnya Thales, melainkan menganggap dirinya hanya seorang
philosophia yang terjemahannya secara harafiah adalah cinta kearifan. Dengan
demikian sampai sekarang secara etimologi dan singkat sederhana filsafat masih
diartikan sebagai cinta kearifan.
Pythagoras
berpendapat bahwa matematika merupakan suatu sarana atau alat bagi pengetahuan filasafati.
Pendapat ini kemudian memperoleh pengukuhan dari Plato. Ia menegaskan bahwa
filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran, sedang filsafat merupakan
pencarian yang bersifat perekaan terhadap pandangan seluruh kebenaran. Filsafat
Plato disebut sebagai filsafat spekulatif. Menurut pendapat Plato, geometri
sebagai pengetahuan rasional berdasarkan akal murni menjadi kunci kearah
pengetahuan dan kebenaran filasafati serta bagi pemahaman mengenai sifat dasar
dari kenyataan terakhir. Geometri merupakan suatu ilmu dengan akal murni
membuktikan posisi-posisi abstrak mengenai halhal yang abstrak seperti garis
lurus sempurna, lingkaran sempurna atau segitiga sempurna. Salah satu murid
plato yang paling cemerlang yang belajar di akademinya adalah Aristoteles.
Tokoh pemikir ini menyusun konsepsinya tentang pembagian pengetahuan rasional
seperti yang telah diuraikan diatas. Mengenai peranannya dalam filsafat yang
berkaitan dengan ilmu Aristoteles merupakan seorang filsuf ilmu yang pertama.
Ia menciptakan cabang pengetahuan itu dengan menganalisis problem-problem
tertentu yang timbul dalam hubungannya dengan penjelasan Ilmiah. BDari selintas
perkembangan filsafat dan ilmu yang telah diuraikan ternyata sejak zaman Yunani
kuno sesungguhnya berkembang tidak hanya dua melainkan empat bidang pengetahuan
yaitu, filsafat,ilmu, matematika dan logika. Masing-masing kemudian mengalami
perkembangan kearah yang lebih luas.
Filsafat
Filsafat
dimulai oleh Thales sebagai filsafat jagad raya yang selanjutnya berkembang ke
arah kosmologi. Filsafat ini kemudian menjurus pada filsafat spekulatif pada
Plato dan metafisika pada Aristoteles. Setelah mulai beralih memasuki zaman
Romawi kuno, para pemikir mencari keselarasan antara manusia dan alam semesta.
Keselarasan itu dapat tercapai bilamana manusia hidup sesuai dengan alam dalam
arti mengikuti petunjuk akal (sebagai asas tertinggi sifat manusiawi) dan
mengikuti hukum alam dari Logos (sebagai akal alam semesta).
Dalam
abad pertengahan, filsafat dianggap sebagai pengetahuan yang tertinggi. Namun
kedudukan dan perannya adalah sebagai pelayan dari teologi. Kebenaran yang
diterima oleh kepercayaan kepercayaan melalui wahyu tidak dapat ditentang oleh
kebenaran filasafati yang diperoleh dari akal manusia. Filsafat merupakan sarana
untuk menetapkan kebenaran-kebenran tentang Tuhan yang dapat dicapai oleh akal
manusia itu. Dalam abad-abad selanjutnya filsafat berkembang mnejadi dua jalur
yaitu filsafat alam dan filsafat moral.
Perkembangan
filsafat berjalan terus seiring dengan perkembangan berbagai ilmu baru. Sesudah
memasuki
abad XX filsafat dalam garis besarnya dibedakan menjadi dua ragam, yakni
filsafat kritis dan filsafat spekulatif. Filsafat kritis itu kemudian oleh
sebagian filsuf disebut filsafat analitik. Ragam filsafat analitik membahas pertanyaan-pertanyaan
tentang arti (meaning) dari pengertian-pengertian yang digunakan dalam
filsafat. Dengan perkataan lain, filsafat analitis terutama memusatkan
perhatian pada analisis secara cermat terhadap makna pengertian yang
diuperbincangkan dalam filsafat seperti misalnya substansi, eksistensi, moral,
realitas dsb. Sedangkan filsafat spekulatif sesungguhnya merupakan sebutan lain
dari metafisika.
Ilmu
Pada
zaman Yunani kuno episteme atau pengetahuan rasional mencakup filsafat
maupun ilmu. Tidak terdapat masalah besar atau kebutuhan penting untuk
membedakan kedua jenis pengetahuan itu. Thales sebagai seorang filsuf juga
mempelajari astronomi, dan topik-topik pengetahuan yang termasuk fisika. Fisika
adalah pengetahuan teoritis yang mempelajari alam. Pengetahuan ini kemudian
lebih banyak disebut filsafat Alam. Tetapi,
pada zaman Renaissance sejak abad XIV sampai abad XVI terjadi perkembangan
baru. Tokoh-tokoh pembaharu dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis Bacon
dan pada abad berikutnya Rene Descartes, dan Isaac Newton memperkenalkan metode
matematik dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian.
Pengertian filsafat Alam memperoleh arti khusus sebagai “penelahaan sistematis
terhadap alam melalui pemakaian metode-metode yang diperkenalkan oleh para
pembaharu dari zaman Renaissance dan awal abad XVII.”
Jadi,
sejak abad XVII filsafat Alam sesungguhnya bukanlah pengetahuan filsafat,
melainkan pengetahuan yang kini dikenal sebagai Ilmu Alam. Perkembangan ilmu
itu mencapai puncak kejayaan di tangan Newton. Ilmuwan Inggris ini antara lain
merumuskan teori gaya berat dan kaidah-kaidah mekanika dalam karya tulis yang
diberi judul Philosophiae Naturalis Principa (azas-azas mekanik dari
Filsafat Alam), terbit tahun 1687. Dalam perkembangan selanjutnya pada abad
XVIII, philosophia naturalis memisahkan diri dari filsafat dan para ahli
menyebutnya kembali dengan nama fisika. Cabang-cabang lainnya yang tercakup
dalam pengertian ilmu modern juga berkembang pesat berkat penerapan metode
empiris yang makin cermat, pemakaian alat keilmuan yang lebih lengkap, dan
komunikasi antar ilmuwan yang senantiasa meningkat. James Conat menyatakan
bahwa ilmu modern mencapai tahap berjalan dan berbicara pada tahun 1700 dan
mulai memasuki taraf kedewasaan pada sekitar tahun 1780.setelah dewasa
masing-masing ilmu lalu memisahkan diri dari filsafat seperti halnya fisika.
Pemisahan diri dilakukan oleh biologi pada awal abad XIX dan oleh psikologi
pada sekitar pertengahan abad itu. Cabangcabang ilmu lainnya seperti Sosiologi,
Antropologi, Ilmu ekonomi dan Ilmu politik kemudian juga tegas-tegas terpisah
dari filsafat. Seterusnya menurut pengamatan Henry Aiken, dalam abad XX
filsafat memberikan kelahiran pada ilmu-ilmu yang tampaknya juga bebas berupa
Logika Formal, Linguistik, dan Teori tanda. Dalam pertengahan abad ini dapat
pula disaksikan lahirnya serangkaian ilmu antar displin seperti misalnya ilmu
prilaku yang menggabungkan psikologi dengan berbagai cabang ilmu sosial seperti
sosiologi dan antropologi untuk menelaah tingkah laku manusia. Jadi dalam zaman
modern timbul kebutuhan untuk memisahkan secara nyata kelompok ilmu-ilmu modern
dari filsafat karena perbedaan ciri-cirinya yang sangat mencolok. Filsafat
kebanyakan masih bercorak spekulatif, sedang ilmu-ilmu modern telah menetapkan
metode-metode empiris, eksperimental, dan induktif.
Kini
secara pasti semua cabang ilmu dinyatakan sebagai ilmu-ilmu empiris. Sifat
empiris inilah yang membentuk ciri umum dari kelompok ilmu modern dan yang
membedakannya dari filsafat.
Matematika
Bidang
pengetahuan yang ketiga setelah filsafat dan ilmu yang berkembang sejak zaman
Yunani kuno ialah matematika. Oleh karena tergolong rumpun pengetahuan teoritis
yang sama, sudah barang tentu matematika mempunyai hubungan yang cukup erat dengan
kedua bidang pengetahuan yang terdahulu itu. Matematika sejak dahulu menjadi
pendorong bagi perkembangan filsafat. J.B. Burnet misalnya menyatakan bahwa
perkembangan filsafat Yunani bergantung pada kemajuan penemuan ilmiah khususnya
matematika lebih daripada sesuatu hal lainnya.3 Seorang ilmuwan astronomi
terkenal yang berbicara tentang kaitan matematika dengan filsafat ialah
Galileo. Ucapannya yang tekenal itu berbunyi demikian, “ filasafat ditulis
dalam buku besar ini, jagad raya yang terus menerus terbentang terbuka bagi
pengamatan kita. Tetapi, buku itu tidak dapat dimengerti jika seseorang tidak
terlebih dahulu belajar memahami bahas dan membaca huruf-huruf yang dipakai
untuk menyusunnya. Buku itu ditulis dalam bahasa matematika….”
Sejak
permulaan hingga dewasa ini filsafat dan metematika terus menerus saling
mempengaruhi. Filsafat mendorong perkembangan matematika dan sebaliknya
metematika juga memacu pertumbuhan filsafat. Perbincangan-perbincangan paradoks
yang dikemukakan oleh filsuf Zeno misalnya telah mendorong lahirnya konsep-konsep
matematika .
Sejak
zaman kuno hingga abad XX ini, filsafat dan matematika berkembang terus-menerus
melalui pemikiran tokoh-tokoh yang sekaligus merupakan seorang filsuf juga ahli
matematika seperti misalnya Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibinz, Auguste
Comte, Whitehead dan Bertrand Russell. Kaitan erat antara matematika dengan
ilmu-ilmu modern kiranya tidak perlu doipersoalkan lagi. Pada abad XVII
metematik menjadi perintis dari bagian yang terpenting dari ilmu alam. Newton
membongkar rahasia alam dengan mempergunakan matematika. Pada dewasa ini banyak
ahli matematika dan ilmuwan alam menyatakan bahwa matematika adalah bahasa
ilmu.
Logika
Logika
adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas, aturan dan tata cara
penalaran yang benar. Penalaran adalah proses pemikiran manusia yang berusaha
tiba pada pernyataan baru yang merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan lain
yang diketahui. Pernyataan lain yang telah diketahui itu disebut pangkal pikir
(premise), sedangkan pernyataan baru yang diturunkan dinamakan
kesimpulan. Walaupun tidak disebutkan sebagai pengetahuan rasional yang
termasuk dalam episteme, logika adalah sepenuhnya suatu jenis
pengetahuan rasional. Menurut yang Aristoteles mempelopori pengetahuan jenis
keempat ini, logika (waktu itu masih disebutnya sebagai analytika)
merupakan suatu alat ilmu (instrumen of science) di luar epistemi yang
justru diperlukan untuk mempelajari kumpulan pengetahuan rasional itu.
Dalam
abad pertengahan, wibawa Aristoteles diakui sedemikan tinggi sehingga
pengetahuan logikanya dijadikan mata pelajaran wajib dalam pendidikan untuk
warga bebas. Para pendeta dan guru mengajarkan filsafat sebagai pengetahuan
tertinggi bersama-sama dengan logika Aristoteles. Logika yang dikembangkan oleh
Aristoteles dan selanjutnya diperlengkapi oleh ahli-ahli logika abad
pertengahan dan masa berikutnya kemudian terkenal dengan sebutan logika
tradisional. Sampai dengan abad XIX logika tradisional merupakan satu-satunya
pengetahuan tentang penalaran yang betul untuk studi dan pendidikan. Tetapi,
mulai pertengahan kedua abad XIX dikembangkan logika yang kemudian tergolong
sebagai logika modern oleh ahli-ahli matematika seperti George Boole, Auguste
De Morgan, dan Gottlob Frege.
Pada
dewasa ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang amat luas dan tidak
lagi senata-mata bersifat filasafati, melainkan juga bercorak sangat tehnis dan
ilmiah. Lebih-lebih logika modern telah tumbuh begitu pesat dan demikian
beragam sehingga mendesak logika tradisional ke samping dan menjadi bagian
kecil yang kurang berarti. Logika modern yang semula hanya mencakup logika
perlambang kini meliputi antara lain logika kewajiban, logika ganda-nilai,
logika intusionistik, dan berbagai system logika tata baku. Selain hubungannya
yang erat dengan filsafat dan matematik, logika dewasa ini juga telah
mengembangkan berbagai metode logis yang banyak sekali pemakaiannya dalam
ilmu-ilmu. Kini selain deduksi dan induksi yang merupakan metode-metode pokok,
juga dikenal berbagai metode lainnya seperti analisi logika, abstraksi, analogi,
serta pembagian dan penggolongan logis. Sebagai misal, metode yang umumnya
pertama dipakai oleh sesuatu ilmu ialah penggolongan logis. Ilmu-ilmu yang
banyak memakai grafik dalam penjelasannya pada dasarnya menetapkan metode
analogi.
Selain
itu, logika modern (terutama logika perlambang) dengan berbagai pengertian
cermat, lambing yang abstrak, dan aturan yang diformalkan untuk keperluan
penalaran yang betul tidak saja dapat menangani perbincangan-perbincangan yang
rumit dalam suatu bidang ilmu, melainkan ternyata mempunyai pula penerapan misalnya
dalam penyusunan program komputer dan pengaturan arus listrik yang tiadak
mempunyai kaitan dengan argumen.
Demikianlah
pertumbuhan empat jenis pengetahuan rasional yang telah dipaparkan secara
singkat diatas yang pada akhirnya dalam dewasa ini bermuara pada suatu bidang
pengetahuan rumit yang dinamakan filsafat ilmu.
Metafisika
Sejak
lama, istilah “metafisika” dipergunakan di Yunani untuk menunjukkan karya-karya
tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani meta ta physika
yang berarti “hal-hal yang terdapat sesudah fisika”. Aristoteles
mendefinisikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang-ada
sebagai yang-ada, yang dilawankan, misalnya, dengan yang-ada
sebagai yang digerakkan atau yang-ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa
ini metafisika dipergunakan baik untuk menunjukkan filsafat pada umumnya maupun
acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan
terdalam. Namun secara singkat banyak yang menyebutkan sebagai metafisika
sebagai studi tentang realitas dan tentang apa yang nyata. Terkadang metafisika
ini sering disamakan dengan “ontologi” (hakikat ilmu). Namun demikian , Anton
Baker1 membedakan antara Metafisika dan ontologi. Menurutnya istilah
‘metafisika’ tidak menunjukkan bidang ekstensif atau objek material tertentu
dalam penelitian, tetapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, ataupun suatu unsur formal. Inti itu hanya tersentuh pada pada taraf
penelitian paling fundamental, dan dengan metode tersendiri. Maka nama
‘metafisika’ menunjukkan nivo pemikiran, dan merupakan refleksi filosofis
mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling ultimate.
Sedangkan
ontologi yang menjadi objek material bagi filsafat pertama itu terdiri dari
segala-gala yang ada. Metafisika sering juga disebut sebagai ‘filsafat
pertama’. Maksudnya ialah ilmu yang menyelidiki apa hakikat dibalik
alam nyata ini. Sering juga disebut sebagai ‘”filsafat tentang hal yang
ada.” Persoalannya ialah menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam
nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra
saja. Aristoteles memandang metafisika sebagai filsafat pertama. Istilah
“pertama’ tidak berarti, bahwa bagian filsafat ini harus ditempatkan didepan,
tetapi menunjukkan kedudukan atau pentingnya. Filsafat pertama menyelidiki
pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan
manusiawi yang mendasari segala macam pengetahuan lainnya. Aristoteles
mengatakan bahwa menurut kodratnya setiap orang mempunyai keinginan mengetahui
sesuatu. Pemgetahuan khusus yang ingin ia defenisikan dalam tulisannya tentang
metafisika adalah pengetahuan tentang sebab-sebab pertama, yaitu manusia untuk mencapai
sumber tertinggi dari gerakan dan kehidupan.
Secara
umum metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai
seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang “ada” (being). Yang
dimaksud dengan “ADA” ialah ‘semua yang ada baik yang ada secara mutlak, ada
tidak mutlak, maupun ada dalam kemungkinan.” Ilmu ini bertanya apakah hakikat
kenyataan itu sebenar-benarnya? Jadi , metafisika ini mempersoalkan asal dan
struktur alam semesta. Untuk mengetahui asal dan struktur alam semesta, Alkitab
mengawali dengan menuliskan,”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan
bumi” (Kej. 1:1). Kata “menciptakan” (bara) berati dari yang tidak ada
menjadi ada (baru sama sekali), yang dikenal dengan istilah creatio ex
nihilo. Asal mula alam semesta adalah karena diciptakan oleh Allah. Tanpa
Allah. Tidak ada keberadaan (being). Jujun S Sumantri mengatakan;” bidang
telaah filasafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari
setiap pemikiran ilmiah. Diibaratkan bila pikiran adalah roket yang meluncur ke
bintang-bintang, menembus galaksi dam awan gemawan, maka metafisika adalah
dasar peluncurannya.” Secara umum, metafisika dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu:
1.
Metafisika umum (yang disebut ontologi)
2. Metafisika
khusus (yang disebut kosmologi)
Metafisika
umum (ontologi) berbicara tentang segala sesuatu sekaligus. Perkataan ontologi
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “yang ada” dan, sekali lagi,
logos. Maka objek material dari bagi filsafat umum itu terdiri dari segala-gala
yang ada. Pertanyaan-pertanyaan dari ontologi misalnya:
·
apakah kenyataan merupakan kesatuan atau tidak?
·
Apakah alam raya merupakan peredaran abadi dimana semua gejala
selalu kembali, seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses
perkembangan?
Sedangkan
metafisika khusus (kosmologi) adalah ilmu pengetahuan tentang struktur alam semesta
yang membicarakan tentang ruang, waktu, dan gerakan. Kosmologi berasal dari
kata “kosmos” = dunia atau ketertiban, lawan dari “chaos” atau kacau
balau atau tidak tertib; dan “logos” =ilmu atau percakapan. Kosmologi berarti
ilmu tentang dunia dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
Ontologi
membicarakan azas-azas rasional dari yang-ada, sedangkan kosmologi
membicarakan azasazas dari yang-ada yang teratur. Ontologi berusaha
untuk mengetahui esensi yant terdalam dari yang-ada, sedangkan kosmologi
berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya. Materialisme adalah
ajaran ontologi yang mengatakan bahwa yang ada terdalam bersifat materi.
Menurut Prof. Sutan takdir Alisjahbana metafisika itu dibagi atas dua bagian
besar, yaitu metafisika kuantitas dan metafisika kualitas.
Asumsi
Salah
satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah
masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk
kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah
hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas,
ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan
probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan
probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik..
tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan
masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat
keilmuan dengan baik. Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang
mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua
pembicaraan akan sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau
pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali
dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian
dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu berlaku kapan saja dan dimana
saja. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat
ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham
determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang mentyatakan bahwa
semua manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat
kepada hokum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk meletakkan
ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri
apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin
mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang
dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi
sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal
yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka? Konsekuensi
dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian
yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme.
Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu
manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah
yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat
probabilistik. Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak
dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya
bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu?
Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka
apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini
yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa
gelintir pernyataan yang bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat
universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya,
disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian. Namun
para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang
berfungsi membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan
tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian
sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan
generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti
upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan
pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
Peluang
Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan
suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana
keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia
pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
Beberapa
Asumsi Dalam Ilmu
Ilmu
yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif
yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan. Namun sering
dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh.
Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara
semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan
ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celahcelah perbedaan dalam
fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah
diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya
dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial. Kemudian pertanyaan
yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotakkotak dan
pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana
sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis,
yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam
pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan
manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara
cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini ,
seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong
demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan , dengan
asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan
tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing
dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidispliner. (Jadi bukan “fusi”
dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Dalam
mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi
ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi
ini harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi
ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana
keadaan yang seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari
telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral
Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti
berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi
yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan
tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu
terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak
dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan
asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau
belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada
ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita
tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang
berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
3.
Batas-Batas
Penjelajahan Ilmu
Apakah
batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan
meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi
karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana:
ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas
pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan
juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab
kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Mengapa ilmu hanya
membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak
pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat
pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu
membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara
empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya,
bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan
metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata
seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian,
jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya
berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik
dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek
semua berpaling kepada pengkajian estetik. Ruang penjelajahan keilmuan kemudian
kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan. Kapling ini makin lama
makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif displin keilmuan. Kalau pada
fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka
sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.
Posting Komentar