04.14
Kawali News: Ogi,E To Wadjo
Kawali News: Ogi,E To Wadjo: Sebagaimana halnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil, rasanya kurang ...
03.53
Beberapa saat yang lalu, Rumpung Bentengpola menggelar ritual penobatan ulang Arung Bentengpola, yang kini berusia 80 tahun. Pesta yang sudah lebih dari lima puluh tahun tidak pernah diadakan. Ritual yang hampir mirip dengan ritual perjamuan oleh sang raja ini, dilengkapi dengan semua bentuk kesenian yang dilakukan oleh Para Bissu. Bissu adalah para abdi kerajaan yang terdiri dari para waria.
Komunitas Arung Bentengpola yang masih tersisa sampai saat ini, bisa menjadi sebuah mosaik untuk memahami Kerajaan Wajo. Pemerintahan Kerajaan Wajo menempatkan Arung Bentengpola sebagai lembaga yang mengangkat dan melengserkan Arung Matowa atau raja Kerajaan Wajo. Inilah keunikan yang membedakan antara Kerajaan Wajo dengan kerajaan Bugis lainnya.
Sumber lain menyatakan bahwa Kerajaan Wajo didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat kini.
Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya dengan kerajaan yang ada di sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan wajo bukanlah milik kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun. Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah dengan rakyat. Seorang raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui hasil keputusan rapat pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat beranggotakan 40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi, setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri Laleng Tampu Mopi Na Maradeka” artinya “setiap orang wajo itu masihsejak di dalam kandungan dia sudah merdeka” jadi tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut sekalipun itu seorang raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, beliau membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik disaat perang, pada zamannya beliau memajukan posisi wajo secara sosial politik diantara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral) Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian bongayya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Wajo. Sehingga kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah RIS dalam hal ini NIT berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja akhirnya menjadi kabupaten.
Adek amaradekangenna to Wajoe (Perjanjian Kemerdekaan Orang Wajo)
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung. Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG”
Jadi jika ingin belajar tentan demokrasi tidak perlu jauh-jauh ke Luar Negeri, cukup membuka dan mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa lampau seperti dari Kerajaan Wajo.
1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone
43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
Bupati (1957-sekarang)
Ogi,E To Wadjo
Sebagaimana halnya daerah-daerah di
Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil,
rasanya kurang lengkap bila tidak membahas salah satu kerajaan tertua yaitu
Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, Kerajaan Wajo meliputi beberapa wilayah
seperti Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh wilayah Kabupaten Wajo
saat ini. Menurut beberapa sumber, Wajo dibentuk sekitar tahun 1300-an oleh
tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan Tuwa. Ketiga
pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat membentuk kerajaan
bersama yang Dipimpin oleh seorang Arung Matowa. Tahun 1948 adalah tahun
berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik Indonesia
menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang nyaris tak
berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya tersisa
satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung Bentengpola.
Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama Kerajaan Wajo.
Saat ini komunitas itu memiliki
seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai raja, yaitu Datu Sangaji, Arung
Bentengpola generasi ke-28. Secara administratif maupun struktural, Arung
Bentengpola kini tidak memiliki kewenangan. Namun demikian, keberadaannya
dianggap mewakili tokoh informal.
Beberapa saat yang lalu, Rumpung Bentengpola menggelar ritual penobatan ulang Arung Bentengpola, yang kini berusia 80 tahun. Pesta yang sudah lebih dari lima puluh tahun tidak pernah diadakan. Ritual yang hampir mirip dengan ritual perjamuan oleh sang raja ini, dilengkapi dengan semua bentuk kesenian yang dilakukan oleh Para Bissu. Bissu adalah para abdi kerajaan yang terdiri dari para waria.
Komunitas Arung Bentengpola yang masih tersisa sampai saat ini, bisa menjadi sebuah mosaik untuk memahami Kerajaan Wajo. Pemerintahan Kerajaan Wajo menempatkan Arung Bentengpola sebagai lembaga yang mengangkat dan melengserkan Arung Matowa atau raja Kerajaan Wajo. Inilah keunikan yang membedakan antara Kerajaan Wajo dengan kerajaan Bugis lainnya.
Sumber lain menyatakan bahwa Kerajaan Wajo didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo dicapai di
pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan
Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan
Soppeng sebagai saudara bungsu. Wajo memeluk islam secara resmi ditahun 1610
pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato
Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu
melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan
tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal
disana Wajo terlibat perang Makassar 1660-1669 disebabkan karena persoalan
geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa
La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa
tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bongayya,
sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang
juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang.
Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat kini.
Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya dengan kerajaan yang ada di sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan wajo bukanlah milik kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun. Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah dengan rakyat. Seorang raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui hasil keputusan rapat pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat beranggotakan 40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi, setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri Laleng Tampu Mopi Na Maradeka” artinya “setiap orang wajo itu masihsejak di dalam kandungan dia sudah merdeka” jadi tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut sekalipun itu seorang raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, beliau membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik disaat perang, pada zamannya beliau memajukan posisi wajo secara sosial politik diantara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral) Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian bongayya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Wajo. Sehingga kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah RIS dalam hal ini NIT berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja akhirnya menjadi kabupaten.
”Maradeka To Wajo’e Ade’na
Napapuang” kata tersebut secara bebas berarti merdeka orang wajo hanya adat
yang dijunjung/diabdikan. Tentu timbul pertanyaan mengapa filosofi tersebut
bisa muncul dan menjadi pegangan orang-orang wajo bahkan sampai dijadikan
lambang resmi dari Kabupaten Wajo.
Latenri Bali, Batara Wajo 1
“Maradeka to wajoe taro pasoro
gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo,
bertanggungjawab, tahu diri, hanya adatlah yang menjadi hukum penentu”
Adek amaradekangenna to Wajoe (Perjanjian Kemerdekaan Orang Wajo)
“Napoalebbirenggi to wajoe
maradeka, malempu, namapaccing rigau salae, mareso mappalaong, namaparekki
riwarangparangna”
Artinya :
“orang wajo lebih memilih merdeka,
jujur, menghindari perbuatan tercela, ulet dan hemat”
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
“Maradeka to wajoe najajiang
alena maradeka, tanaemi ata, naia tau makketanae maradekamaneng, rilaleng
tampumupi namaradeka napoada adanna, napogau gauna ade’ assimaturusengmi
napapoang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, lahir dengan
merdeka, tanah yang jadi bawahan, setiap orang yang hidup di wajo merdeka
semua, bebas berpendapat, bebas bekerja, hanya kata sepakat yang jadi pedoman
hukum
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung. Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG”
(merdeka orang wajo, rasa malunya
tinggi tapi cuma diam, andi(bangsawan) saja yang di
tonjolkan/diabdikan/dijunjung/disanjung/dihormati)
Jadi jika ingin belajar tentan demokrasi tidak perlu jauh-jauh ke Luar Negeri, cukup membuka dan mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa lampau seperti dari Kerajaan Wajo.
Berikut kami tuliskan daftar
raja-raja wajo. Daftar ini tidak dijamin kevalidannya, namun mudah-mudahan
dapat menjadi salah satu referensi.
1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
2. La Obbi Settiriware (±1481-1486)
3. La Tenriumpu to Langi
(±1486-1491)
4. La Tadampare Puangrimaggalatung
(±1491-1521) Lowong 3 tahun
5. La Tenri Pakado To Nampe
(±1524-1535)
6. La Temmassonge (±1535-1538).
7. La Warani To Temmagiang
(±1538-1547).
8. La Malagenni (±1547)
9. La Mappauli To Appamadeng
(±1547-1564)
10. La Pakoko To Pa’bele’
(±1564-2567)
11. La Mungkace To Uddamang
(±1567-1607)
12. La Sangkuru Patau Mulajaji
(±1607-1610)
13. La Mappepulu To Appamole
(±1612-1616)
14. La Samalewa To Appakiung
(±1616-1621)
15. La Pakallongi To Alinrungi
(±1621-1626)
16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
17. La Pakallongi To Alinrungi
(1628-1636),
18. La Tenri lai to Udamang
(1636-1639)
19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20. La Makkaraka To Patemmui
(±1643-1648).
21. La Temmasonge (±1648-1651)
22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23. La Tenri Lai To Sengngeng
(±1658-1670)
24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25. La Pariusi Daeng Manyampa
(±1679-1699),
26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
27. La Mattone’ (±1702-1703)
28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29. La Tenri Werung (±1712-1715)
30. La Salewangeng To Tenriruwa
(±1715-1736)
31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang
(±1736-1754)
32. La Mad’danaca (±1754-1755)
33. La Passaung (±1758-1761)
34. La Mappajung puanna salowo
(1761-1767)
35. La Malliungeng (±1767-1770)
Lowong 25 tahun
36. La Mallalengeng (±1795-1817)
Lowong 4 tahun
37. La Manang (±1821-1825). Lowong
14 tahun
38. La Pa’dengngeng (±1839-1845)
Lowong 9 tahun
39. La Pawellangi PajumperoE
(±1854-1859).
40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41. La Koro (±1885-1891)
42. La Patongai Datu Lompulle
Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone
43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
44. A.Oddangpero Datu Larompong
(1926-1933)
45. A.Mangkona Datu Mario
(1933-1949)
Pjs Arung Matowa (peralihan).
1. A.Sumangerukka datu pattojo (ex
patola putra AMW 44) 1949
2. A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
1. A.Pallawarukka (ex pilla)
2. A. Magga Amirullah (ex sulewatang
pugi)
3. A. Pallawarukka (masa jabatan
kedua)
Bupati (1957-sekarang)
Label:
Belawa,
SENI SASTRA dan BUDAYA
15.00
Patung Misterius di Kab. Wajo
Label:
SENI SASTRA dan BUDAYA
11.57
William Shakespeare
William
Shakespeare (lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire,
Inggris,
26 April
1564 – meninggal
di Stratford-upon-Avon, Warwickshire,
Inggris,
23 April
1616 pada umur 51 tahun)
adalah seorang penulis Inggris yang seringkali disebut orang sebagai salah satu
sastrawan terbesar Inggris. Ia menulis sekitar 38 sandiwara tragedi, komedi, sejarah, dan
154 sonata, 2 puisi naratif, dan puisi-puisi yang lain. Ia menulis antara tahun
1585 dan 1613 dan karyanya telah
diterjemahkan di hampir semua bahasa hidup di dunia dan dipentaskan di panggung
lebih daripada semua penulis sandiwara yang lain.
Shakespeare
lahir di Stratford-upon-Avon, Inggris,
pada bulan April 1564, sebagai putra John Shakespeare dan Mary Arden. Ayah
William cukup kaya ketika ia lahir dan memiliki bisnis pembuatan sarung tangan
namun kemudian ia menjadi agak miskin setelah menjual wol secara ilegal. Shakespeare
tidak mengikuti jejak ayahnya.
Pada zaman
itu, sekolah umum baru dimulai di Inggris. Sebelumnya, hampir semua anak tidak
tahu cara membaca dan menulis, mereka hanya belajar suatu ketrampilan atau
bertani. Shakespeare pergi ke salah satu sekolah umum yang baru ini. Ia belajar
Latin,
yang merupakan bahasa semua kaum terpelajar, tidak peduli dari negara mana
mereka berasal. Dari London
ke Lisbon,
dari Aleksandria
ke Konstantinopel,
dari Tunis ke
Yerusalem, semua orang terpelajar berbicara Latin dan bahasa ibu
mereka. Semua dokumen penting, baik dokumen negara, gereja, atau perdagangan,
ditulis menggunakan Latin.
Shakespeare
juga mempelajari karya-karya para penulis dan filosofer dari Yunani Kuno dan
Romawi. Lebih dari 100 tahun berlalu sejak Johannes Gutenberg memperkenalkan percetakan ke
Eropa pada tahun 1452.
Shakespeare dan orang Inggris lain yang dapat membaca ─ dan mampu membeli ─
buku-buku menjadi akrab dengan kisah-kisah dari berbagai tempat seperti Italia, Perancis,
Asia Minor,
dan Afrika Utara.
Beberapa kisah-kisah ini menjadi dasar cerita-cerita terbesar Shakespeare.
Contohnya, The Golden Ass karya Apuleius, sebuah kisah kuno dari Afrika Utara,
kemungkinan merupakan kisah yang menginspirasikan Impian di Tengah Musim. Shakespeare meminjam
cerita untuk Romeo dan Juliet dari seorang penulis Inggris
lain, yang mendapatkannya dari seorang penulis Perancis, yang menterjemahkannya
dari kisah abad ke-16 oleh Luigi da Porta dari Italia yang
bersumpah bahwa cerita tersebut adalah berdasarkan cerita nyata.
Sampul muka Folio Pertama, 1623.
Gambar Shakespeare oleh Martin Droeshut
Di dalam
dunia Shakespeare, terdapat susunan-susunan yang telah diterima secara umum.
Hampir semua orang di Inggris adalah Kristen.
Di hierarki terbawah terdapat kaum pekerja, di atasnya para petani dan
pedangang, lalu para pendeta dan pengawal, lalu naik lagi para ksatria, tuan
tanah, uskup agung, dan para adipati. Sang monarki bertahta di puncak tatanan
sosial. Di Inggris, monarki tersebut adalah Ratu Elizabeth I
(yang dilanjutkan dengan kemenakannya, James I). Elizabeth I
memerintah Inggris hampir selama hidup Shakespeare. Pada zaman tersebut tidak
ada peperangan. Diplomasi sang ratu membuat kedua seterunya Perancis
dan Spanyol
terjaga seimbang. Perdagangan berkembang. London menjadi kota yang padat,
ramai, dan penuh dengan peluang. Rumah-rumah sandiwara dibangun di London;
teater-teater tersebut adalah tempat yang populer dikunjungi masyarakat.
Sistem kelas
pada zaman Shakespeare dapat saja sudah memiliki susunan-susunan, namun hal
tersebut tidak statis. Orang-orang mulai berpikir tentang mereka sendiri.
Shakespeare hidup di zaman Renaissans yang berarti
"kelahiran kembali" yang terjadi pada abad ke-15
hingga abad ke-17
di Eropa.
Renaissans
Eropa menghidupkan kembali pembelajaran klasik. Pada zaman tersebut terdapat
gerakan kebangkitan minat terhadap seni, musik, dan arsitektur. Suatu dunia
yang tua dan stagnan tiba-tiba berubah menjadi hidup dan vibran. Meskipun
hampir semua orang percaya bahwa susunan matahari, bulan, bintang, dan planet
mempengaruhi nasib mereka, beberapa orang mulai merubah cara berpikir mereka
tentang diri mereka dan dunia yang mereka tinggali. Mereka mulai memahami
kekuasaan dan posisi pemerintahan diciptakan oleh manusia, bukan ditentukan
oleh Tuhan sejak lahirnya. Mereka menyadari bahwa kekristenan bukanlah
satu-satunya agama di dunia. Dan karena banyak di antara mereka mulai dapat
membaca, maka banyak juga yang tidak ingin tinggal di kelas sosial tempat
mereka dilahirkan. Banyak petualang Renaissans menggunakan cara mereka
sendiri-sendiri untuk mencari rejeki dan mengembangkan kehidupan mereka.
Shakespeare adalah salah satu dari orang-orang tersebut.
Pada awal
1590an, William Shakepseare mengokohkan dirinya sebagai seorang penulis
sandiwara dan aktor di London. Selain itu, ia juga memiliki bagian dari rumah
sandiwara tempat ia dan teman-temannya bermain. Itu mungkin adalah sumber
penghasilannya. Shakespeare menikahi Anne Hathaway, yang delapan tahun lebih
tua daripadanya, pada tanggal 28 November 1582
di Temple Grafton, dekat Stratford. Anne kala itu hamil tiga bulan.
Bersama-sama mereka dikaruniai tiga anak: Susanna, dan si kembar Hamnet dan
Judith. Istri dan ketiga anaknya tinggal di Stratford, dan kemungkinan besar
Shakespeare pergi mengunjungi mereka setahun sekali. Pada tahun 1596 Hamnet meninggal
dunia. Karena kemiripan nama, banyak orang berpikir bahwa hal ini mengilhaminya
untuk menulis The Tragical History of Hamlet, Prince of Denmark.
Shakespeare
menjadi orang teater yang sangat terkenal, sangat populer, dan sangat kaya.
Ratu Elizabeth I sangat menyukai karya-karyanya; begitu pula dengan Raja James
I, penerusnya. Pada pemerintahan James I, Shakespeare dan kawan-kawan terkenal
dengan sebutan "Orang-orang Raja" karena Raja James I adalah
pengunjung mereka yang spesial. Shakespeare dan Orang-orang Raja bermain di
istana kerajaan, di teater Globe dan di rumah sandiwara mereka, dan teater Blackfriars.
Untuk mendapatkan lebih banyak uang, mereka juga mengadakan tur keliling
Inggris, terutama pada saat-saat wabah penyakit menjangkit Inggris.
Orang-orang
zaman Elizabeth tidak memandang pemain atau penulis sandiwara adalah pekerjaan
yang terhormat. Pergi ke teater pada zaman tersebut tidak sama seperti pergi ke
teater pada saat ini, hal itu lebih seperti pergi menonton pertandingan sepak
bola!
Teater-teater
zaman Elizabeth merupakan bangunan kayu yang bertingkat-tingkat. Para penonton
duduk di ketiga sisi atau berdiri di tengah-tengah lantai. Bagian tengah teater
terbuka atapnya karena pada zaman itu belum ada penerangan buatan. Ribuan orang
berjejalan di teater untuk pertunjukan sore hari. Para penonton
berteriak-teriak di belakang para aktor. Teater Globe adalah tempat yang padat
pengunjung, bising, dan berjejal-jejalan.
Puluhan ribu
orang yang memadati untuk melihat sandiwara Shakespeare akan dapat mendengar
1700 kata yang diciptakan oleh Shakespeare. Banyak kata-kata ciptannya yang
saat ini masih digunakan. Contohnya: "deafening" (menulikan),
" hush", " hurry" (lekas), " downstairs"
(di bawah), " gloomy" (sedih), " lonely"
(sendirian), " embrace" (pelukan), " dawn"
(senja). Ejaan yang digunakan Shakespeare pun berbeda dari zamannya.
Orang-orang zaman Elizabeth mengeja kata-kata seperti yang tertulis, seperti
Latin dan Indonesia. Tidak ada cara "yang benar" untuk mengeja.
Orang-orang menulis suatu kata seperti ejaan yang mereka inginkan. Jika ingin
menulis "me" (saya) tapi ingin memberikan penekanan pada kata
tersebut, maka kata tersebut akan dituliskan "mee". Jika sang
penulis ingin kata tersebut dibaca seperti orang berteriak dari atap rumah,
maka kata tersebut akan dituliskan "Meee".
Dalam teks
Shakespeare akan dijumpai kata "stayed" (tinggal) dieja "stay'd",
karena Shakespeare ingin mengucapkan kata tersebut sebagai satu suku kata
(baca: 'steid') seperti ejaan bahasa Inggris sekarang, bukan dua suku kata
(baca: 'stei-ed'). Bahasa Inggris modern banyak menggunakan penulisan dari
zaman dahulu namun dengan menggunakan ejaan yang baru. Contohnya kata "knight"
(ksatria) dulunya dieja sama seperti tulisannya (baca: 'k-ni-gh-t' 4 suku
kata). Di dalam budaya oral seperti zaman Shakespeare, orang-orang mempedulikan
detil intonasi, nada suara, dan bunyi yang ditimbulkan pada waktu mereka
berbicara sehingga bahasa lisan yang digunakan lebih kaya pada zaman dahulu
daripada zaman sekarang.
William
Shakespeare menulis selama dua puluh lima tahun, menciptakan tiga puluh enam
hingga tiga puluh sembilan karya yang diketahui hingga saat ini. Topik yang
dicakup beragam mulai dari romans komik hingga perang saudara, dari permainan
domestik hingga kejadian politis yang menggegerkan dunia. Namun tiga hal yang
mendasari seluruh karyanya adalah pertanyaan-pertanyaan: Apa artinya untuk
hidup? Bagaimana cara kita hidup? Apa yang harus kita lakukan? Sandiwara
Shakespeare menawarkan pemahaman yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Itulah sebabnya mengapa ahli-ahli literatur mempelajari karyanya,
politikus-politikus mengutipnya, filosofer-filosofer menemukan cara berpikir
yang baru dari membaca dan membaca ulang karyanya. Mempelajari Shakespeare
adalah seperti mempelajari hidup dari berbagai sudut pandang: psikologis,
politis, filosofis, sosial, spiritual. Ritme yang digunakannya dalam
kata-katanya terefleksi dalam ritme tubuh kita. Memainkan peranan sandiwara
Shakespeare di panggung membuat seseorang menyadari seberapa dalam seseorang
harus menarik napas supaya suaranya dapat terdengar sampai ujung ruangan.
Shakespeare berhenti menulis pada tahun 1611 dan meninggal dunia beberapa tahun kemudian pada 1616. Sampai
wafatnya ia tetap menikah dengan Anne. Pada batu nisannya tertulis: "Blest
be the man who cast these stones, and cursed be he that moves my bones."
(bahasa Indonesia: "Terbekatilah ia yang
menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan
tulang-tulangku.")
Shakespeare
menulis tentang keadaan manusia yang sangat manusiawi. Ia memahami apa yang
hampir semua orang ingini: untuk menyayangi orang lain, dan disayangi oleh
orang lain; makan, minum, dan tidur dengan tenang; untuk hidup di tengah dunia
yang besar dan memiliki arti di dalam hidup. Shakespeare juga memahami bahwa
manusia memiliki kelemahan-kelemahan yang kadang-kadang jauh dari
rencana-rencana mereka yang terhormat (atau tidak terhormat). Shakespeare adalah
seorang jenius yang menunjukkan pada kita diri kita sesungguhnya.
Karya William
Shakespeare
Antonius dan Cleopatra · Coriolanus ·
Hamlet ·
Julius Caesar · Macbeth ·
Othello ·
Raja Lear ·
Romeo dan Juliet ·
Timon dari Athena · Titus Andronicus ·
Troilus dan Cressida
Impian di Tengah Musim · All's Well That
Ends Well · As You Like It
· The Comedy of Errors ·
Cymbeline · Love's Labour's Lost ·
Malam Keduabelas ·
Measure for Measure ·
The Merry Wives of
Windsor · Much Ado About Nothing · Pedagang dari Venezia ·
Perikles, Pangeran
dari Tirus · Taming of the Shrew ·
The Tempest
· The Two Gentlemen
of Verona · The Two Noble Kinsmen ·
The Winter's Tale
Raja John · Richard II · Henry IV, Bagian 1 ·
Henry IV, Bagian 2 ·
Henry V · Henry VI, bagian 1 ·
Henry VI, bagian 2 ·
Henry VI, bagian 3 ·
Richard III · Henry VIII
Sonata Shakespeare ·
Venus dan Adonis ·
Pemerkosaan Lucrece ·
The Passionate Pilgrim
· The Phoenix and
the Turtle · A Lover's Complaint
Edward III · Sir Thomas More ·
Cardenio (hilang) · Love's Labour's Won
(hilang) · Kelahiran Merlin ·
Locrine · The London Prodigal ·
The Puritan ·
The Second Maiden's
Tragedy · Richard II, Bagian I: Thomas dari
Woodstock ·Sir John OldcastleThomas Lord Cromwell ·
Tragedi Yorkshire ·
Fair Em · Mucedorus · The Merry Devil of
Edmonton · Arden dari Faversham ·
Edmund Ironside
Karya lain
Label:
TOKOH





